#8 Hospital

157 31 3
                                    

Brittany mengeratkan selimut untuk menghangatkan tubuhnya yang kedinginan. Sesekali ia berdecak kesal karena malam ini menjadi berantakan akibat kondisi tubuhnya. Brittany tidak mengerti lagi mengapa tubuhnya tidak dapat mengerti dirinya untuk sekali saja. Pening masih terasa di kepalanya, punggungnya benar-benar terasa sakit, bahkan untuk bangkit dari ranjang pun rasanya Brittany tidak sanggup.

Ddddrrrrttt.... Dddrrrtttt...

Mendengar getaran ponsel di mejanya, Brittany berusaha bangkit dengan perlahan.

"Argh!" Ringisnya saat ia merasa sakit pada punggungnya.

Ddddrrrtttt... Dddrrrtttt...

Oh astaga, rasanya Brittany ingin berteriak sekarang juga karena getaran ponsel yang begitu mengganggu. Akhirnya Brittany mencoba untuk bangkit lagi dari tidurnya, dengan perlahan dan dengan berhati-hati supaya ia tidak merasa sakit sedikit pun pada punggungnya.

Dengan kehati-hatian, Brittany pun berhasil meraih ponselnya. Tertera nama Uncle James disana. Wajah Brittany menegang seketika, apa pamannya tahu kondisi Britrany sekarang? Dengan ragu-ragu, Brittany pun mengangkat panggilan dari pamannya.

"H...halo?"

"Brittany! Katakan padaku apa yang terjadi!"

Brittany sempat menjauhkan ponselnya saat mendengar pamannya yang begitu khawatir. Ia menghela nafas sejenak, untuk menjelaskannya baik-baik pada pamannya,

"I- I'm fine, uncle. Hanya saja kepalaku terasa sedikit pening. But, it's okay, uncle."

Terdengar helaan nafas dari sebrang sana, "I'll be there in fifteen minutes."

Mendengar pernyataan pamannya, Brittany hanya mengangguk pasrah, "Okay, uncle. I'll wait."

Panggilan pun terputus. Brittany kembali mengistirahatkan tubuhnya di ranjang sembari menunggu pamannya. Punggungnya semakin terasa nyeri, ia sedikit meringis kesakitan. Ingin rasanya Brittany pulang ke rumah mengunjungi kedua orang tua nya. Namun Brittany tidak ingin menyia-nyiakan apa yang sudah pamannya berikan dan lakukan demi dirinya. Brittany pun mengingat perkataan ibunya yang menyuruhnya untuk tetap bersama uncle nya dan mengejar cita-citanya.

Memikirkan ibunya saja, kelopak mata Brittany seolah terasa tergenang sesuatu. Tidak, Brittany tidak boleh menangis sekarang. Namun rasanya sakit jika ia mengingat kedua orang tuanya yang merasa seakan perusahaan adalah keluarganya. Tak terasa, air mata yang tidak dapat ia tahan lagi terjatuh begitu saja.

Brittany merindukan semuanya. Brittany merindukan masa kecilnya bersama mereka, Brittany tidak ingin hidup seperti ini. Namun hidup terus berjalan, dan semua tidak akan pernah sama seperti sebelumnya. Brittany menghapus kasar air matanya, ia benci sekali menangis. Karena jika Brittany menangis, ia merasa dirinya lemah. Brittany tidak lemah, ia adalah gadis yang kuat. Batin Brittany terus menggerutu mengingatkan dirinya suoaya tidak menangis.

Tak lama kemudiam, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Perlahan-lahan Brittany berdiri, kemudian ia meringis lagi karena sakit pada punggungnya masih amat terasa. Namun Brittany tetap memaksakan dirinya. Dengan langkah kecil dan cukup lambat, akhirnya Brittany sampai di depan pintu apartemennya dan membuka pintu tersebut. Terlihat jelas paman dan bibi nya yang berdiri di hadapan pintu apartemennya.

"Brittany, are you okay?" Bibi nya menyentuh pundak Brittany, menatapnya dengan penuh kekhawatiran. Jelas saja bibi nya merasa sangat khawatir dengan keponakan yang sudah dianggap sebagai anak kandung nya sendiri.

Brittany mengangguk lemah, "Yeah, I'm fine, Aunt. Masuklah."

Paman dan bibinya terdiam di depan pintu, lalu terdengar sebuah dehaman kecil dari pamannya, "We should go to Hospital, Britt."

The Interview [S.M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang