"Mau apel aja Rin," pinta Rean manja.
"Jeruk belom abis Bos."
"Asem,"
"Kayak apa?" pancing Irina.
"Ketek," cengir Rean cekikikan.
"Sembarangan!" Irina menepuk pundak Rean pelan, tapi tangannya memilih mengupas apel yang diminta Rean.
"Nanti aku jemput abis syuting," janji Rean menerima kupasan apelnya.
"Kamu yakin udah kuat? Energi kamu banyak terkuras. Apalagi kali ini adegan laga kan?" ujar Irina khawatir.
"Asal jangan hujan, aku nggak papa. Keinginanku untuk tetap di sini lebih kuat lagi setelah punya kamu,"
"Aku mengingatnya Re," Irina berbisik lirih.
"Tentang kita?"
"Tentang kehidupan kita sebelum sekarang."
Rean menggaruk kepalanya yang tidak gatal, pandangannya lurus pada mata kebiruan Irina. Ucapan Irina berhasil membawanya kembali ke masa kehidupan pertama. Di sana ia tertawa, menggendong Irina bahkan mengecup bibir gadisnya. Kini semua telah kembali seperti semula dan tak ada yang diminta takdir padanya. Apa karena Irina bahagia?
"Apa kamu ingat pas aku nyentuh payudaramu?" tanya Rean hati-hati.
"Eh?"
"Itu, aku nggak sengaja Rin,"
"Kapan? Pas di Dubai? Iya? Kamu gerayangin aku?" sentak Irina kaget.
"Bu-bukan!" Rean mengelak dengan wajah polosnya, ia pikir Irina mengingat masa lalu mereka di kehidupan pertama, ternyata tidak sejauh itu. "Apa yang kamu inget?" tanyanya.
"Kapan kamu megang??"
"Itu mimpi Rin. Kamu jangan salah paham,"
"Jadi," Irina meletakkan apel di tangannya, tapi masih menggenggam kuat pisaunya, "kamu sempet mikir mesum tentangku dan kebawa mimpi gitu sebelum kita jadian?" geramnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sound Of Silence
Fantasia"Dan ketika denting lonceng memecah kesunyian, saat itulah raga kami dibangkitkan. Jiwaku yang membara, takdirku yang berbeda jauh dengannya disatukan dalam nasib dunia nyata. Dia tetaplah berbeda, lalu dalam beda itu kami berjumpa." "Dia yang rela...