[one]

12.6K 502 11
                                    

Pernikahan mewah diselenggarakan sangat meriah. Ribuan undangan menghadiri pernikahan anak dari teman-teman kolega. Rata-rata adalah teman bisnis, rekan kerja dan para pegawai perusahaan. Keluarga hanya sedikit turut hadir. Itu pun tak bisa datang.

Dua keluarga itu bahagia, gembira dan haru karena anak-anak mereka telah mendapat pendamping hidup. Kedua orangtua masing-masing mempelai tersenyum lebar menyambut tamu. Hanya dua orang---pasangan pengantin---memasang senyum palsu.

Wanita yang akhirnya menikahi pria tak disangka-sangkanya, menyengir sinis. "Hebat ya, aku tidak tahu siapa jodohku, kamulah yang jadi jodohku. Dunia itu mengerikan," cibir wanita itu sembari menyungging senyuman.

"Seharusnya aku yang berkata begitu, kita terus bertengkar. Eh, ujung-ujungnya menikah juga. Musuh bebuyutan, lagi," dengkus sang pria.

Wanita berpakaian gaun pengantin lebar nan seksi dengan belahan dada rendah, selaku istri sang pria, menuturkan semua yang belum sempat diutarakan.

"Aku sedih tidak memiliki Edward. Malah kamu tercantol bersamaku."

"Justru akulah yang sedih, tidak meraih Gladys. Kalau tahu begini, Gladys bakalan kujadikan kekasih. Penyesalan memang datang di akhir." Pria itu mengusap wajah kasar menggunakan tangan terbalut sarung tangan putih.

Terbelalak kaget, istri pria itu menoleh. "Kamu suka dengan istri kedua Edward? Mana bisa?!" pekik wanita tak menyangka, berbisik parau.

"Terkejut 'kan? Bahkan aku tidak tahu soal itu," hela pria tersebut. "Kamu capek?" tanyanya tanpa tersirat kekhawatiran.

"Sudah biasa," jawab wanita itu tak peduli. Lagi pula, dia memang sengaja membiarkan bagian dadanya melonggar ke bawah. "Apa lihat-lihat?" Wanita itu mendelik tajam ke arah suaminya.

"Susunya mau tumpah," ledek pria itu kembali ke sifat asli.

Wajah wanita itu memerah. Antara marah dan tersipu.

***

"Aku bersyukur pada Tuhan, kamu menikah jua."

Bibir Joshua maju beberapa senti seketika saat mendengar perkataan Edward. Sahabatnya. Edward menghadiri undangan, mengenakan tuksedo. Di samping Edward, ada istrinya berpakaian anggun dengan gaun indah.

"Datang-datang meledek," keluh Joshua. Matanya mencari-cari sekitar. "Glory dan Airy mana?"

Edward menyeringai. "Mereka tidak ikut bahkan menolak. Airy, jadi korban ngidam Sella. Sedangkan Glory, lebih senang bersama Glenna, sedang menginap di kediaman Golden."

Bahu Joshua luruh. "Kenapa tidak diajak atau dipaksa datang?"

"Hey, brother, mereka kecewa padamu terutama Glory. Aku tidak ingin anakku meraung-raung minta pulang gara-gara melihatmu. By the way, Glory tidak lagi menyebut dirimu selaku Daddy kedua. Tidak mau, katanya. Soalnya ...." Edward melirik sinis Bianca yang menunduk tergugu. Edward mengangkat bahu. "Pasti kamu tahu apa maksudku."

"Hilang sudah wibawaku." Kepala Joshua tertunduk.

Tepukan pelan pemberi semangat di pundak Joshua. "Jangan menyerah, Josh. Walau Glory kecewa karena kamu menikah dengan musuh bebuyutannya. Mau tidak mau, kamu terima konsekuensinya."

Joshua mengangkat kepala. Sepasang matanya berkaca-kaca. Ditolehkan pandangannya ke Gladys sedari tadi berdiam diri. Tak ada satupun perkataan yang terlontar dari wanita itu.

"Gladys, kita kawin lari. Mau tidak?" tawar Joshua membuat Edward menjitak kepalanya. "Aduuh, I just kidding, brother."

"Candaan tidak lucu," dengkus Edward dan menggenggam tangan Gladys. "Sorry, Bianca, aku hanya memberi selamat atas pernikahanmu. Tetap bahagia. Ayo, dear, kita pulang."

Golden Love ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang