[eighteen]

6.5K 407 31
                                    

Maaf, kalau sudah tamat. Hehehe....

***

Masa lalu telah berlalu. Kini, tak ada lagi menahan sakit atas kesalahan diperbuat. Kini, hanya senyuman selalu merekah ke mana pun mereka berjalan.

Hanya sesosok manusia sedang menggerutu dikarenakan muka terus ditekuk. Sepasang mata memancarkan rasa iri dan cemburu saat memandang empat punggung sedang berangkulan.

Bahkan, perempuan kecil telah diterima secara baik-baik tanpa ada penolakan dan keributan. Padahal pikiran manusia itu ingin ada perselisihan dan pertengkaran supaya ketika ada waktu, manusia itu berharap jadi pahlawan kesiangan.

Tetapi semua itu sirna. Lantas, apa yang bisa manusia itu dapatkan?

Sebuah acuh tak acuh sebagai jawaban.

***

Sejam menunggu, detik demi detik, suara langkah kaki mendekati Maria. Dengkusan keras bikin Maria mendongak dan menemukan manik mata sengaja mengejeknya.

"Kukira kamu pergi, meraung-raung di dalam kamar. Enak tidak diacuhkan oleh Mom?" Bianca bersedekap. Namun, bola mata memberi sorot terluka. "Itulah yang kamu lakukan saat meminta keluarga meninggalkanku."

Maria memalingkan muka.

Cengkeraman di dagu Maria, membuat kepala itu tertarik ke tempat semula. Maria mendapatkan amukan dari sepasang mata tersebut.

"Balas dendam yang menarik. Tanpa campur tangan aku pun, Mom tidak peduli padamu. Tinggal menunggu, kamu dimarahi atau aku yang mengusirmu dari sini."

Maria menepis cengkeraman di dagunya. "Kamu tidak berhak melakukan itu padaku!" Wanita itu bangkit, membalas tantangan Bianca. "Ini rumahku. Rumah Sepupuku. Kamu tidak ada hak mengusirku. Yang pantas melakukannya adalah—"

"Aku sendiri!"

Badan Maria membeku mendengar suara dingin nan tinggi. Menengok ke belakang Bianca yang tersenyum angkuh, sengaja menyingkir agar Maria leluasa menatap pria berstatus suaminya.

"Aku bisa!" Joshua menghampiri Maria, meraih lengannya. "Aku sudah meminta izin pada Mom, kamu akan dijemput Bibi. Jadi, silakan pergi dari ruangan ini dan tunggulah di pintu gerbang."

Maria memberontak. "Tidak sopannya kamu terhadap tamu! Bibi tidak mungkin memberi izin untuk mengusirku!"

Joshua melepas lengan Maria, menyerahkan kesempatan itu kepada Bianca sepertinya geram atas kelakuan Maria tak kunjung berubah. Hingga akhirnya tarik menarik Joshua pandang, tak satupun melerai.

"Lepas, Bianca!" teriak Maria di ambang pintu. "Bukankah kita adalah sahabat di masa SMP? Kenapa kamu memperlakukanku begini?" tanyanya memelas.

Joshua mendengkus. Hari begini wanita itu mengingatkan masa-masa indah sekaligus mimpi buruk bagi Bianca. Tentu istrinya pasti membalas Maria tanpa belas kasihan.

"Makan kata itu!"

Nah, 'kan.

"Kita bukan lagi sahabat sejak kamu mengkhianatiku dari belakang, Maria! Nama yang cukup cantik, tapi sifatmu beda dengan perbuatan. Mau jadi apa kamu saat menikah?"

Pintu berdebam. Cahaya dari arah pintu utama telah menghilang digantikan remang-remang dari balik gorden di jendela besar. Juga gedoran dan teriakan di luar pintu.

Bianca menepuk tangan seakan membersihkan kotoran sembari memandang pintu yang tertutup. Napasnya keluar secara kasar, tak memedulikan rengekan dan tendangan di pintu yang berharga mahal tersebut.

"Sadis sekali," ejek Joshua sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada.

Bianca membusungkan dada dan mendongak dagu. "Dia pantas diberi pelajaran atas apa yang dilakukan kepadaku dan kamu."

Golden Love ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang