Third Victim : Leo Part 3

531 14 0
                                    

Leo memikirkan perkataan gadis yang ditemuinya dalam perjalanan pulang tadi. Espresso yang diteguknya sama sekali tidak ada rasa. Dia sedang terfokus pada pemikirannya. Bahkan dia juga tidak menyadari Arietta yang telah berada di depannya. Ya, mereka sedang kencan di cafe lagi.

          “Leo ?” Arietta mengibaskan tangannya di depan mata Leo. Mata itu tetap tidak bergeming. Terpaksa dia mengambil jalur kekerasan. Dicubitnya lengan kekasihnya itu sekuat mungkin.

          “Aaaauu...” erangnya kesakitan. “Loh ? Arietta ? Sejak kapan kau disini ?”

          “Sejak zaman dinosaurus ada,” jawabnya jengkel. “Kau kenapa sih ?”

          “Aku lagi mikir,” jawab Leo sederhana. Dia meneguk espressonya lagi. Sekarang espressonya kembali ada rasa.

          “Tentang apa ?”

          Kemudian cerita mengalir deras dari mulut lelaki itu. Mulai dari kakaknya yang meninggal hingga pertemuannya dengan gadis tak dikenalnya kemarin. Arietta yang juga telah memesan espresso, tidak sempat meminumnya saking terfokus dengan cerita kekasihnya.

          “Kau tidak bercanda, kan ?”

          “Tentu saja tidak.”

          “Lebih baik kita segera melakukan apa yang diusulkan gadis itu.” Suara Arietta terdengan cemas dan takut. Leo jadi merasa bersalah telah membuat Arietta kalut seperti ini.

          “Kau tidak perlu cemas, sayang. Paling gadis itu hanya iseng.”

          Arietta menggeleng mantap. “Menurutku gadis itu benar, Leo. Firasatku juga sudah tidak enak sejak pertama memegang pisau itu.”

          “Baiklah..” Leo mengalah.

          “Dimana pisau itu ?”

          “Di dapur rumahku.”

          “Ayo kita kesana sekarang.” Tanpa menunggu persetujuan Leo, Arietta keluar dari cafe itu, menuju halte bus terdekat. Leo segera menahan Arietta.

          “Aku membawa mobil,” kata lelaki itu pelan. Sempat terlihat rona merah dari wajah pasangannya. Leo tersenyum melihat rona itu. Dia tidak tahu bahwa ini adalah terakhir kalinya rona merah itu akan dilihatnya.

          “Hei, bukankah ini pisaunya ?” ujar Arietta dalam perjalanannya menuju rumah Leo. Segera Leo memberhentikan mobil di tepi jalan. Dia perhatikan pisau itu dengan seksama. Alangkah terkejutnya dia, mengetahui itu benar-benar pisau yang diletakkannya di dapur tadi pagi.

          “Ya, ini dia,” suaranya tercekat. “Aku yakin aku tadi pagi meletakkannya di dapur.”

          “Serius ?” Arietta membelalak tidak percaya. “Ayo cepat ke kantor polisi, Leo.”

          Leo menuruti perintah kekasihnya itu dan menggas mobilnya secepat mungkin. Jika benar pisau yang berada di dalam mobilnya adalah pisau terkutuk yang telah membunuh Lucy, maka dia pasti berada dalam bahaya sekarang.

*

Aku yang sekali lagi, mengikuti adik Lucy dan kekasihnya, tercengang melihat mobil yang ditumpangi mereka lepas kontrol lalu menghantam sebuah toko perabotan. Supir taksi yang mengemudikan taksinya juga ikut tercengang. Taksinya juga menjadi lepas kontrol tapi supir itu berhasil tersadar dan mengontrolnya kembali. Hampir saja aku menghadapi maut untuk kedua kalinya.

Aku menatap bayanganku di cermin yang pucat pasi. Tidak seharusnya aku meratapi nasibku. Ada yang lebih penting lagi. Keselamatan pasangan di mobil sedan tadilah yang utama.

Aku bergegas keluar dari taksi lalu menghampiri mobil tersebut. Keadaan mobilnya sangatlah parah. Spontan aku membuka pintu dan mengecek nadi mereka berdua. Tidak. Aku hanya mengecek nadi satu orang, karena yang satu lagi telah kehilangan kedua tangannya. Aku bergidik ngeri. Sudah pasti yang satu ini tidak bernyawa lagi.

Beruntung, yang masih memiliki tangan, Leo Maradov, masih mempunyai kehidupan. Aku meminta tolong kepada pemilik toko yang ditabrak agar membantuku membawa Leo ke taksi yang aku gunakan tadi. Tanpa protes, si pemilik memasukkan lelaki itu ke dalam taksi. Setelah aku masuk, supir taksi langsung menggas kendaraannya menuju rumah sakit terdekat.

Cursed KnifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang