❃ Kelompok 15

1.2K 90 21
                                    

Anya mengipas-ngipas wajahnya dengan buku sambil membuka file yang baru saja dikirimkan seniornya di grup angkatan.

Ia menggulir layar, membaca satu persatu nama di tiap kelompok namun tak kunjung menemukan namanya sendiri.

Kelompok 1

Kelompok 2

Kelompok 3

Namanya tetap tidak ada. Anya nyaris mengangkat tangan untuk melapor bahwa namanya tidak tercantum jika saja matanya tak sengaja menangkap sederet nama di kelompok terakhir.

Kelompok 15 (Prau) :
1.
2.
3.
4. Lavanya Diora Lumi

Anya mendengus. Ia tak suka ditempatkan di kelompok terakhir meski ia tahu bahwa hal itu tidak ada maksud apa-apa, tapi Anya tetap akan merasa bahwa dia ditempatkan di kelompok sisa.

"Nya, kita satu kelompok!" Suara cempreng Hasya mengusik telinga Anya hingga gadis itu refleks menolehkan kepala ke arahnya.

"Iyakah?"

"Iya!"

Anya kembali melihat layar ponsel dan menemukan nama Hasya ada di paling bawah daftar kelompoknya.

"Oh iya bener."

"Untung lah. Seenggaknya aku nggak sendirian," kata Hasya sambil tersenyum. Dia dan Anya dulu satu kelompok ospek fakultas, dan karena mereka satu jurusan jadi mereka dekat secara alami.

"Silakan berkumpul dengan kelompok masing-masing. Dimulai dari kelompok 1 Merapi di ujung barat sampai kelompok 15 Prau di ujung timur sana." Suara senior di depan sana kembali terdengar.

Anya dan Hasya bangkit. Mereka berjalan ke papan kelompok paling ujung bertuliskan Prau yang dicetak tebal. Saat mereka sampai di sana, semua orang terlihat asing alias Anya dan Hasya tidak mengenal siapapun.

"Setiap kelompok bikin 2 barisan ya!"

Anya dan Hasya mulanya berdiri bersebelahan, tapi Hasya tiba-tiba harus maju begitu mereka merapikan barisan. Alhasil di sebelah Anya jadi terisi orang lain.

Anya sempat melirik teman di sebelahnya, seorang cowok tinggi yang sepertinya tak begitu banyak bicara. Auranya terlihat kalem mirip seseorang yang dikenal Anya.

Anya ingin mengajaknya berkenalan, tapi suara senior lagi-lagi mengintrupsi dan menyuruh mereka agar tidak berisik karena sebentar lagi akan dikenalkan kakak pendamping untuk masing-masing kelompok.

"Kalian boleh duduk," kata senior itu.

Tanpa pikir panjang Anya segera mengambil posisi. Tak peduli jika bajunya akan sedikit kotor karena tanah, yang penting dia bisa duduk meski harus tahan untuk tidak mengeluh karena cuaca siang itu teramat terik seolah ada dua matahari yang bersinar di atasnya.

"Kalau gini mah saja aja kaya di Jakarta!" keluh Anya pelan. Semarang bukan main panasnya. Suhu siang itu mencapai 31 derajat. Siapapun tak akan betah berlama-lama diam di luar ruangan, apalagi di lapangan.

Tak lama kemudian dua orang mahasiswa yang kalau tidak salah bernama Mirdzi dan Meaywa datang menghampiri kelompok Anya sebagai kakak pendamping.

Oritsuru [ᴇɴᴅ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang