Epilog

650 51 16
                                    

Dress mini selutut berwarna peach Anya kenakan dipadu flatshoes putih yang baru dibelinya belum lama ini. Ia semprotkan parfum ke tubuhnya dan mematut diri di cermin untuk yang terakhir kali, memastikan bahwa penampilannya sudah sempurna.

Anya tersenyum, ia menyambar tas dan keluar kamar dengan langkah ringan. Ibunya sedang menonton televisi ketika ia pamit untuk pergi.

“Jangan pulang kemaleman,” pesan sang ibu yang langsung Anya jawab, “Nggak kok, paling pulang pagi.”

Ibunya mendelik, Anya terkekeh. “Lumi pergi dulu ya Ma.”

Di depan rumah sudah ada taksi online yang dipesannya. Sang supir menyapa ramah ketika Anya masuk ke dalam mobil. Ia memastikan lagi alamat tujuan Anya sebelum melajukan kendaraan roda empat itu.

Anya memandang ke luar jendela. Gedung-gedung tinggi memenuhi pandangannya, jalanan penuh sesak oleh kendaraan. Ia bisa mendengar suara klakson dari berbagai arah.

Semoga Anya bisa tiba tepat waktu dan tak terjebak kemacetan terlalu lama.

“Buru-buru ndak mba?” tanya si supir.

“Nggak kok Pak.” Anya menjawab ramah. Untuk membunuh waktu selama perjalanan, Anya memilih menggulir linimasa sosial medianya.

Berbagai macam postingan teman-temannya bermunculan. Dari mulai Hasya yang kini bekerja di salah satu instansi pemerintah daerah di kampung halamannya, lalu postingan Irshad di tempat antah berantah, hingga postingan terbaru Katya yang diunggah kemarin malam. Dalam foto itu terlihat Katya sedang berada di sebuah pantai bersama seorang laki-laki.

Laki-laki itu tentu saja bukan Sanan.

Katya terbilang aktif di media sosial, karena itulah Anya selalu tahu kabarnya meski mereka sudah jarang berkomunikasi. Terakhir ia melihatnya adalah saat acara wisuda lima tahun yang lalu.

Selain karena pertemuan terakhir mereka di momen special, ada satu hal lagi yang membuat Anya tak bisa melupakannya, yaitu karena perkataan Katya kala itu.

“Nya, aku udah lama nyerah soal Sanan,” ujar Katya tiba-tiba. Anya yang semula fokus mendengarkan sambutan rektor, langsung menoleh kaget.

“Hah?” Ia mengerjap cepat. “Kenapa kamu ngasih tahu aku soal ini?”

Katya tak langsung menjawab. Ia diam sejenak memikirkan rangkaian kalimat yang akan diucapkannya.

“Mungkin karena aku punya firasat kalau endingnya Sanan bakal sama kamu.”

“Tya aku—”

“Aku udah tahu kok. Dari awal aku udah tahu kalau selama ini Sanan sukanya cuma sama kamu,” sela Katya membuat Anya tak bisa berkata-kata.

“Tapi selama ini aku selalu berharap kalau aku bakal punya kesempatan. Apalagi setelah tahu kalau kamu suka sama orang lain, waktu itu kupikir Sana bakal nyerah dan milih move on, tapi ternyata dia malah mempertahankan perasaannya walau tahu kamu suka sama orang lain.”

Tatapan Katya terlihat lebih dalam dari sebelumnya. Ia menatap Anya lekat, tak peduli di depan sana sang rektor mulai membagikan ijazah satu persatu kepada para wisudawan.

“Sekarang aku cuma penasaran gimana perasaan kamu Nya, apa kamu masih setia sama Kak Pandu, atau ternyata selama ini hati kamu udah berpaling?”

Anya menolak menjawab. Sejujurnya dua tahun belakangan ini ia sudah kembali berhubungan dengan Pandu meski tak sedekat dulu. Ia juga sudah lebih bisa menerima rasa sakit hatinya, dan keberadaan Sanan cukup besar pengaruhnya. Sanan berhasil membantu Anya lupa bahwa dia pernah jadi perempuan yang seolah tak bisa hidup tanpa seorang Pandu.

Oritsuru [ᴇɴᴅ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang