"Siapa?"
"Ibu."
Shawn langsung mengalihkan pandangannya pada istrinya itu, apa ini cara yang tepat? Apa akan berhasil?
"Bagaimana caranya?"
Ashley membuka kancing teratas kemeja Shawn dan menyentuh kalung yang dulu diberikan Ibunya untuk Shawn. "Kalung ini." kemudian ia juga mengeluarkan kalung miliknya. "Dan ini. Akan membantu kita, Ibu akan membantu kita Shawn."
Shawn tersenyum. "Aku serahkan masalah ini padamu, Luna."
Seketika itu juga Ashley terbahak. Ia ingat betapa tidak sukanya ia dipanggil Luna dulu. "Ayolah, kau tahu aku tidak suka dipanggil Luna. Kau tahu kenapa?"
"Apa?" tanya Shawn memandang dalam Ashley.
"Karena Luna itu adalah istri pilihan Ibu. Tapi, aku bukan dipilih, aku diutus Ibu untuk menjadi istrimu karena dirimu begitu terpuruk saat kehilangan Angel. Jadi, aku bukan
matemu."Shawn tersenyum sumringah, ia menyesal sudah mencela Ashley saat pertama kali melihatnya dulu. Gadis yang sekarang sudah bertransformasi menjadi wanita cantik ini sangat baik hati. Dan Shawn harap, hal-hal baik ini akan diturunkannya pada Feeya dan El.
"Inilah alasan utama kenapa aku sangat mencintaimu." lirih Shawn.
"Aku tahu." Ashley tersenyum. "Pergilah, para warrior dan vampire itu membutuhkanmu Shawn. Aku akan coba bicara pada ibu."
Shawn mengangguk, ia mencium pipi Ashley dan segera berlalu dari kamar yang mereka tempati di White Kingdom. Ashley meneguk ludahnya kasar, ia sudah lama tidak berkomunikasi dengan sang Goddes. Akankah Ibunya itu akan menjawab panggilannya dan membantu mereka?
Saat sibuk dengan pikirannya sendiri, tanpa sadar kamar yang tadinya bernuansa hitam putih sudah berubah menjadi kamar super lebar dengan perabot yang sangat mewah. Dihiasi dengan cat berwarna silver dan sebuah kolam kecil ditengah ruangan itu. Tepat didepan mata Ashley. Wanita itu terkejut. Tapi seketika ia menyadari kalau itu adalah perbuatan Ibunya. Sang Moon Goddes.
"Anakku."
Ashley menoleh, ia tersenyum melihat Ibunya berdiri disana. Setelah sekian lama Ibunya tetap terlihat cantik, sangat cantik. Matanya memancarkan kasih yang besar untuk Putri tunggalnya itu. "Ibu."
"Aku tahu anakku, untuk itulah aku menghampirimu." Goddes berjalan mendekati Ashley dan memeluknya erat.
"Tapi bagaimana bisa? Ibu punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Masih banyak unmated werewolf diluar sana Ibu."
Goddes tersenyum. Putrinya masih saja bawel. "Tapi Ibu selalu menyisihkan waktu untuk mengawasimu dan kedua cucuku."
"Aku harus apa Ibu?" Ashley menangis mengingat nyawa anaknya yang dalam bahaya.
Goddes tersenyum lirih, sebenarnya ia ingin membantu Feeya sejak ia melihat aura aneh yang selalu mengikuti Feeya dari kolam takdir. Tapi ia tahu, ia tidak bisa sembarangan bertindak atau khayangan akan memberikan sanksi berat padanya. Ia bahkan harus memikul beban yang sangat berat selama ini. Sejak ia melahirkan Ashley, ia tidak lagi diperbolehkan menemui Ashley. Tapi ia diperbolehkan menemui para werewolf yang dijodohkannya. Karena itulah Goddes membuat Ashley menjadi Mate Shawn, ia bersyukur sekarang mereka berdua saling mencintai satu sama lain tanpa campur tangannya.
"Aku akan membantumu."
"Apa?" dengan mata merahnya Ashley menatap sang Dewi.
"Kita akan bertempur bersama sayang. Didalam jiwamu." Goddes menunjuk dada Ashley. "Jauh didalam sana, kau memiliki kekuatanku. Begitupun dengan El."
Ashley termangu. Benarkah ia memiliki kekuatan Goddes? Sangat tidak bisa dipercaya. Tapi kalau sang Goddes sendiri yang mengatakannya~
"Bagaimana cara mengendalikannya, Bu?"
"Kau harus memiliki hati yang suci anakku." ujar Goddes.
"Aku takut untuk mengendalikannya, Bu. Aku tidak bisa. Bisakah kuberikan kekuatan yang ada dalam diriku pada El?"
Goddes menggeleng.
"Dengarkan aku, sekarang lihat kedepan. Tatap kolam itu dengan fokus. Kita lihat apa tubuhmu bisa mengendalikan kekuatanku." Goddes memutar tubuh Ashley menghadap kolam berair sejernih berlian itu.
Ashley menuruti perkataan Ibunya. Ia menatap kolam itu fokus, lebih fokus dan lebih fokus lagi.
1 menit.
2 menit.
Ashley merasakan sesuatu yang kuat mengalir didalam tubuhnya. Sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti. "Ibu ada apa ini?" tanyanya bingung.
Kornea matanya berubah warna menjadi Biru. Dan rambutnya perlahan berubah menjadi keperakan. Ia takut, Ashley takut pada dirinya sendiri. Ia gemetar.
Seketika tubuhnya membatu. Ia tidak bisa bergerak. Goddes masih memperhatikan putrinya yang berdiri memunggunginya. Goddes mendesah pelan.
"Tubuhnya tidak~" Goddes tidak bisa melanjutkan ucapannya saat ia melihat sinar menguar dari tubuh Ashley. Ia tersenyum. Ashley berhasil.
Ashley mengangkat tangan kanannya. "I omáda tou peproménou, deíxte mou to parelthón."
Air didalam kolam itu terangkat seperti sebuah layar yang cukup besar. Kenangan-kenangan lama Ashley berputar seperti kaset yang baru saja direkam. Semuanya terlihat jelas. Bahkan, disana juga ditunjukan bagaimana masa lalu Shawn. Ashley meneteskan air matanya. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Ia tidak bisa mengendalikannya.
"Itu adalah kekuatan untuk melihat takdir, Ashley."
"Ibu yakin kamu masih memiliki kekuatan lainnya. Kamu hanya harus percaya pada dirimu sendiri." lanjut Goddes.
Ashley memandang dirinya di cermin. Bahunya gemetar, sekarang ia terlihat seperti Goddes. Wajahnya terlihat lebih muda. "Ibu, apa aku akan menjadi immortal kalau aku bisa mengendalikan kekuatan ini?"
"Tentu sayang. Bahkan, kamu bisa menggantikanku kapan saja."
Ashley menggeleng. "Tidak, aku ingin hidup bahagia bersama Shawn dan anak-anakku."
"Aku mengerti, tapi setidaknya simpanlah kekuatan itu dan belajarlah untuk mengendalikannya. Maka kamu akan bisa menyelamatkan Feeya." ujar Goddes mengelus lembut kepala putrinya.
"Apa aku akan terus seperti ini, Bu?" tanya Ashley lagi.
"Ya. Kurasa begitu."
Ashley menunduk, bagaimana kalau Shawn melihatnya dengan keadaan seperti ini?
"Pulanglah. Berkatku menyertaimu sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVING YOU (Sequel My Nerd Mate)
WerewolfKupikir, mencintaimu tak sesulit ini. Tapi, nyatanya aku salah. Kita tak bisa bersama, bukan karna perbedaan umur. Tapi aku yang tidak akan pernah bisa mencintaimu, persetan dengan embel-embel "Mate" diantara kita. Aku tidak peduli. "Aku Feeyana Je...