THIRTY ONE: THE BARISTA
Jarum pada jam dinding telah menunjuk pukul lima ketika Meadow usai menyantap selusin halaman penuh rumus-rumus kalkulus pengocok isi perut. Well, hanya saja ia tidak benar-benar memiliki sesuatu di dalam sana sejak makan siang tadi, jadi tidak ada yang benar-benar terkocok. Thanks to the goddamn assignment. Ia menyalahkan kertas-kertas tugas itu yang membentang tak ada habisnya seperti rel kereta api. Oh, dan Tuhan tahu betapa kikirnya wanita tua—yang ia sebut guru—itu dalam memberi tenggat waktu.
Shame on her. Sebesar apapun pengaruh mereka dalam menciptakan hari buruk bagi Meadow, faktanya Meadow lebih menyalahkan dirinya sendiri ketimbang mereka. Atau lebih tepat jika disebut, jalan hidupnya.
Tidak. Bukan sebuah rencana bagi gadis tanpa ambisi seperti Meadow untuk menjadi peraih beasiswa penuh Glastonbury. Dan hell, bukan pula keinginan Meadow untuk terjerat dalam tanggung jawab mendapatkan nilai sempurna. Straight A it is. Ia tidak boleh memberi cacat sedikit pun di atas kertas putih laporan akademik itu. Ia tidak bisa. Not even a B+. Meadow tidak ingin membayangkan, apa yang akan terjadi bila Glastonbury mendapatkan setitik saja alasan untuk meragukan kemampuan inteligensia miliknya. Kembali ke Wisconsin? Nah-uh, ide buruk.
Jadi, sebelum Glastonbury benar-benar menendang bokongnya keluar pagar, yang ia harus lakukan adalah bertahan dengan segudang tanggung jawab yang kian mendesak bak ujung belati.
Terkadang beberapa hal aneh mendatangi kepalanya, seperti mengapa orang-orang seperti Archer atau Harper tidak tersedak dengan semua kekacauan masa senior? Lebih dari itu, mereka bahkan masih mampu tersenyum di saat semua yang diinginkan Meadow adalah terkubur tanah dalam-dalam. Bagaimana mereka bisa melewati segalanya dengan... baik-baik saja?
Beruntung, sekelompok kutu buku di pojok ruangan sana membuat Meadow tidak merasa sebagai ‘satu-satunya’ dalam melakukan hal ini. Meskipun Meadow tidak pernah mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang kutu buku, rasanya kian hari ia kian bertransformasi menjadi salah satunya.
Hari ini hari Jumat. Sekolah bahkan sudah berakhir sejak empat jam yang lalu. Meadow mendesah, mulai membenahi buku-buku yang berserakan di hadapannya. Rambut pirang yang semula diikatnya tinggi-tinggi, kini hanya sebuah untaian menyedihkan, bergelayut di belakang punggungnya. Akhir-akhir ini kantung matanya menebal. Harper bahkan hampir membakar rambutnya dengan alat pelurus rambut itu ketika melihat rona gelap di bawah mata Meadow pagi ini. Ia mengerang saat merenggangkan kedua tangannya, tidak peduli dengan kebisingan yang ia lolos dari bibirnya. Sungguh masa bodoh. Tengkuknya pegal karena membaca terlalu lama dan ototnya kaku walau gimnastik pagi tadi telah membuatnya berayun ke sana ke mari.
Meadow tidak membuang waktu lagi. Sudah lebih dari cukup berada di sekolah. Lebih baik jika ia pulang sekarang dan mandi. Bubble-bath milik Harper yang dibelinya kemarin terdengar menyenangkan. Tetapi, kemudian ia teringat kalau mereka tidak memiliki bak berendam. Idiot. Mengapa Harper membeli bubble-bath itu?
It's Harper we talk here, anyway.
Sembari merenggut tas ransel miliknya yang semula bergelayut di bahu kursi, Meadow mengucap sumpah serapah. Hari buruk, kau telah salah memilih orang! pekiknya dalam hati. Only God knows, only God knows.
***
“Aku ingin Eric,” ujar Meadow, tak sabar.
Seorang laki-laki, yang Meadow tebak tidak mengenal apa itu arti tata krama, tak kalah mendesak. “Dengan, sayang. Yang akan kau dapatkan di sini adalah aku, Mike. Eric sedang tidak melayani pelanggan.”
Meadow bergeleng. Tangannya mengenggam kencang selempang di bahunya. Apa ia benar-benar harus menghadapi pria luar biasa ini demi secangkir kopi? “Tidak, kau yang dengarkan aku, Mikey. Sebaiknya kau panggilkan Eric sekarang atau gadis yang sudah menghadapi hari buruk ini akan menggila dan memanggil sendiri Eric.”
![](https://img.wattpad.com/cover/53236350-288-k665849.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Meadow and The Mischievous Guy
Teen FictionBagi Meadow Baker, Sawyer Freeman adalah segala hal yang membuatnya "alergi" dan memberinya 1001 alasan untuk marah-marah. Si perfeksionis berambut pirang kecoklatan itu sebenarnya memiliki nol toleransi terhadap ketidakpatuhan, egoisme, dan keseme...