33 | It Called Eavesdropping

2.4K 224 70
                                    


THIRTY THREE: IT CALLED EAVESDROPPING

Jika ada satu hal yang membuat jemari Meadow gatal untuk menerkam seorang Sawyer Freeman, hal itu adalah penyakit keras kepala dan kekanak-kanakan yang ia idap. Meadow sungguh tidak main-main ingin menyuntik Sawyer dengan vaksin untuk membuatnya bersikap sedikit lebih dewasa. Cukup sedikit saja! Tapi, kemudian ia berpikir, tidak ada vaksin semacam itu.

Meadow menghela napas. Tangannya mengaduk sisa sundae yang tertinggal di dasar mangkuk. Dengan remah-remah kesabaran yang dimilikinya, Meadow berkata, “Jadi … kau tidak akan menceritakan apapun padaku?”

Sawyer menggelengkan kepalanya yang bersandar pada punggung sofa kedai. “Kau tidak perlu peduli padaku. Semua sudah kutangani.”

“Yeah, kau benar,” lanjut Meadow, “aku tidak perlu peduli sedikitpun. Sedikitpun.”

Upaya Meadow untuk membuat laki-laki egois ini menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pun gagal. Meadow tahu, sangat tidak diperlukan baginya untuk ikut terbawa arus permasalahan ayah-anak ini. Tapi, apa yang bisa ia lakukan sekarang? Sekeras apapun Meadow menyangkal, ia memang peduli. Dan lagi, ia sudah mendengar percakapan Sawyer dan ayahnya itu, meskipun tidak seluruhnya. Karena ‘sebagian’ saja tidak pernah cukup.

“Apa salahnya dengan bersikap masa bodoh? Itu akan lebih mudah bagimu,” ucap Sawyer seraya memejamkan matanya. “Dia tidak sepenting itu.”

Meadow mengangkat sebelah alisnya. Jelas perkataan laki-laki ini jauh dari sebuah arti relevan. “Kau tidak ingin membuatku terlibat, tapi … lihatlah! Kau yang membawaku pergi menemui ayahmu. Apa-apaan ini, Sawyer?”

Sawyer pun kembali bergeleng. Seandainya Meadow mengetahui jika ia hanya melakukan gerakan itu setiap kali ia kehabisan kata-kata. Bagi sang Freeman, alasannya membawa Meadow sungguh tidak dapat dimengerti, bahkan oleh dirinya sekalipun. Suatu saat ia mungkin akan pergi menemui seorang psikiater untuk menjawab semua ini. Tentang alasan mengapa ia merasa Meadow perlu berada di dekatnya. Dan juga mengapa ia merasa selalu ingin menyumpal mulut gadis itu dengan mulutnya, terutama saat ia tidak henti-hentinya cerewet seperti sekarang.

Sawyer mengembuskan napas dan mengusap wajahnya lebih dari yang ia butuhkan untuk mengusir rasa kantuknya. Ia bersumpah, ia butuh berhibernasi setelah ini. Mengingat pertemuan dengan pria keparat itu benar-benar menguras seluruh energinya. “Kau sudah selesai? Ayo, kita pulang.”

***

Tak disangka perjalanan pulang terasa lebih cepat dibanding perjalanan pergi tadi pagi. Kini, Meadow sudah menginjak karpet berbulu miliknya tepat dua puluh menit sejak mereka meninggalkan Randy's, kedai donat dimana mereka menyantap selusin makanan manis itu.

“Dari mana saja kau sejak pagi?” selidik Harper di sela-sela konsentrasinya pada layar laptop. Ia tengah berbaring dengan perut di atas tempat tidur dan kepala terbungkus handuk kecil berwarna hijau.

“Apapun itu, aku sudah menjalani hariku. Bukannya tertidur hingga matahari terik,” toreh Meadow seraya mendarat di atas sofa dan mencopot tali sepatunya.

Harper menggulirkan matanya. Perhatiannya yang semula tertanam kuat pada—apapun itu—di YouTube,  kini terusik oleh semburan sahabatnya itu. “Hei, apa ada yang salah?”

“Tidak. Tidak ada apa-apa. Hanya sebuah pagi yang kurang menyenangkan.”

“Kau baru saja bersama Sawyer, huh?”

Meadow mengangguk kecil. Tanpa bicara sedikitpun, ia berangsur dari sofa dan menaruh sepatunya pada sebuah kotak di samping lemari pakaian. Ia beruntung karena Harper tidak membuka mulutnya lagi. Ia lebih butuh mandi ketimbang bercerita. Lagi pula, tidak ada yang bisa ia ceritakan pada Harper. Seperti kata mutiara Sawyer, itu bukan hal yang penting.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 28, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Tale of Meadow and The Mischievous GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang