11. Degup Jantung

5.8K 428 6
                                    

"Gila nih orang." Sarah terduduk lemas di pinggir lapangan, bersamaan dengan di buka nya kedua sepatu yang membuat jari-jari nya terasa di himpit.

Sarah kembali memaki sambil mengatur nafas nya. Lari sepuluh putaran mengelilingi lapangan sekolah nya yang hampir mirip GBK itu, push up 20 kali, sit up 20 kali, back up 20 kali. Walaupun ia memiliki fisik yang kuat, tetap saja hal itu sangat melelahkan. Apalagi bagi perempuan lain yang fisik nya lebih lemah.

Alya saja sudah di larikan ke UKS karena muntah saat pengambilan nilai tersebut berlangsung.

"Yang abis lari jangan langsung duduk, berdiri dulu!" Suara Pak Yayat mengintrupsi anak perempuan untuk bangun, hampir sebagian menurut. Tetapi Sarah tidak, perempuan itu terus duduk lalu membuka kaus kaki nya, dan memijit kelingking nya yang memerah karena ukuran sepatu nya yang sangat pas itu.

"Sarah, berdiri dulu!"

"Capek, Pak! Jari saya merah-merah nih!" Protes Sarah, tetapi masih dengan nada yang sopan.

"Eh anjing capek banget!" Samar, Sarah mendengar suara Khafi yang sedang berlari di depan nya. Begitu pun keluhan-keluhan yang keluar dari mulut teman laki-laki nya.

----

Kebiasaan Revan di sekolah, tidur-makan-bab-belajar kalo mood-tidur-makan. Tapi sekarang ia tidak sedang melakukan rutinitas nya, melainkan berdiri di pinggir tembok yang hanya se-perut nya.

Kali ini ia sedang menonton "penyiksaan" gratis di lapangan. Entah mengapa Revan tertarik melihat hal tersebut ketimbang tidur di kelas nya. "Iya bagus ngeliatin cewek mulu." Gio terkekeh kecil melihat adik kelas nya itu.

"Yang waktu itu di labrak beneran pacar lo?" Tanya Gio lagi. Mata nya menulusuri pandangan Revan ke perempuan yang sedang duduk di pinggir lapangan sambil membuka kedua alas kaki nya.

Revan menggeleng, tersenyum. "Belum?"

"Yeh kok lo malah nanya, kejar terus kalo hati lo mau mah." Ujar Gio. "Akhirnya selama ini lo bukan gay beneran Van."

"Gue masih nafsu sama Miyabi, Yo."

"Ya abisan kaga ada gandengan sama sekali, bikin anak-anak mikir lo homo," jelas Gio sambil menggeleng-gelengkan kepala nya. Mereka memang satu SMP--walaupun beda dua tahun. Selama itu pula Gio tidak pernah mendengar kabar Revan yang mendekati perempuan, yang ada malah sebalik nya. "Cantik kok."

Revan menoleh tajam, menghunus kakak kelas nya itu. "Lah lo siapa dia Bor? Mau gue ambil juga bebas." Perkataan itu tidak membuat Revan marah kepada Gio, justru ia malah memikirkan bahwa memang banyak yang sudah tertarik dengan perempuan itu.

"Eh itu cewek lo ke kantin!"

----

"Al, sumpah ih gue kesel banget sama Pak Yayat!" Ujar Sarah menggebu-gebu, lihat lah, Sarah harus nyeker dari lapangan tadi karena jari-jari nya sangat sakit untuk hanya memakai kaus kaki saja.

"Woy gue juga woy! Lo bayangin tadi kan gue udah ngomong kalo gue abis makan banget terus takut muntah kalo lari eh tetep di suruh pas gue muntah beneran aja baru ngicep." Alya ikut menimpali dengan opini yang sama dengan Sarah.

"Ini nasi goreng nya," suara itu mampu mengalihkan konstentrasi mereka dari topik Pak Yayat. Kedua nya kompak hening saat memakan nasi goreng buatan Bude Pajri itu.

"Kok nyeker Sar?" Sarah otomatis menoleh ke sumber suara yang ada di sebelah kiri nya. Di sana, Revan ikut duduk bersama Gio yang meringsut naik ke kursi samping Alya.

Alya di buat kaget oleh perilaku Gio tadi, Sarah dapat melihat jelas dari raut wajah nya.

"Tuh, liat aja." Sarah berucap tidak selera lalu menunjuk kaki nya yang berada di bawah meja.

"Kok bisa?"

"Gara-gara bapak lo. Pak Yayat."

"Bapak gue Adi, bukan Yayat." Koreksi Revan cepat.

Sarah dengan santai kembali melanjutkan makan nya, bersikap seolah Revan tidak ada di sebelah nya. Berbeda dengan Alya yang sampai sekarang masih terkejut, itu Gio kan? Gio mantan kapten tim basket tahun kemarin? Yang sekarang duduk di sebelah nya itu beneran Gio? Dalam hati, itu lah pertanyaan yang Alya lontarkan.

Tanpa permisi, Revan menarik kedua kaki perempuan itu dan menaruh nya di tengah kursi yang masih tersisa. Sarah hampir tersedak di buat nya.

"Bude, Revan minta es batu dong!" Bude Pajri lalu mengangguk dan memberikan satu kantung plastik bening perempatan.

"Kalo gini tuh harus nya di obatin, bukan di diemin aja." Revan berucap, tidak dengan nada konyol yang sering keluar dari mulut laki-laki itu. Tangan nya cekatan menekan-nekan plastik tersebut ke jari-jari kaki Sarah yang berubah warna menjadi merah dan biru.

Tidak ada yang berbicara, dan situasi ini membuat Sarah dengan jelas mendengar degup jantung nya sendiri.

****

Ga kerasa udah part ke sebelas aja😂

EvanescetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang