33. Reuni

4.9K 284 6
                                    

Evelyn menyesap kopi hitam yang baru ia buat barusan, asap yang mengepul ia tiup agar hilang--walau dua detik kemudian muncul lagi. Buku tebal bercover hitam ada di tangan kiri nya.

Evelyn menghela nafas panjang, menghapus air yang terjun dari kedua mata nya. "Still wake up?" Evelyn tersenyum melihat laki-laki yang pasti terbangun dari tidur nya pukul dua malam ini.

Karena penerangan hanya berasal dari lampu kuning yang ada di pojok ruangan, Evelyn tidak perlu repot-repot menyembunyikan buku yang sebenarnya milik laki-laki di hadapan nya ini. Laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suami nya. "Tidur, Lyn."

"Kamu kenapa bangun?" Revan mengedikan bahu nya tidak tahu kemudian meminum kopi hitam milik Evelyn. "Pahit!"

"Siapa suruh di minum," ujar Evelyn sambil tersenyum. Revan memang tidak menyukai kopi hitam, tapi kata nya ia ingin mencoba apapun yang Evelyn suka.

"Kamu ga biasa loh Lyn masih bangun jam segini." Evelyn mengangkat kedua bahu nya tidak tahu. "Kenapa? I know you're not fine."

"Of course." Jawab Evelyn terus terang, ia menyingkirkan buku hitam yang ada di paha nya lalu memberikan itu di depan Revan. "Do you love me?"

Revan sedikit terkejut, tapi tak ayal mengangguk menjawab pertanyaan Evelyn. Kedua tangan nya menyentuh tangan perempuan itu, berusaha meyakinkan. "Sebulan lagi kita nikah, Lyn!"

"Revan, kadang ada sesuatu yang ga harus kita paksain, karena itu semua adalah garis Tuhan. Takdir." Evelyn berujar, menatap wajah Revan dalam, mungkin untuk yang terakhir kali.

"Aku ga akan marah sama kamu Van. Aku justru merasa bersalah, hey, kita udah sama-sama hampir dua tahun, tapi kenapa aku ga pernah sadar kalau kamu sebenarnya ga pernah benar-benar cinta sama aku? Kenapa aku gatau kalo kamu sebenarnya in pain. Like, kamu berusaha mati-matian buat cinta sama aku, I bet it hurts.

"Aku harus nya dari dulu nyerah, because you can't love me, even if it takes the rest of your life. This is my fault, Van."

"Evelyn---"

"Aku gamau ngabisin hidup aku sama seseorang yang ga akan bagi hati nya sedikit buat aku. Di saat aku ngerasa kalo dunia itu sangat menyenangkan, orang yang aku cinta justru merasakan sebalik nya karena dia harus menghabiska hidup nya bukan dengan orang yang dia cinta."

"Just stop this, Lyn."

"You deserve to be happy Van , so I am."

"So just please let me make you happy." Suara Revan melemah, posisi duduk nya memaju, berusaha mengambil tubuh Evelyn ke dalam dekapan nya, tapi perempuan itu menolak. Hei, kenapa rasa nya sakit saat melihat Evelyn menangis?

"No, I'm not your happiness and my happiness isn't just about you."

"We're gonna fucking marry!" Ujar Revan meninggi, ini tidak bisa di biarkan. Evelyn sudah terlalu banyak membantu nya, ia harus mencoba setidak nya mencintai perempuan tersebut.

"Engga Van. Pernikahan itu cuma aku yang ingin, kamu cuma lagi coba buat bohongin perasaan kamu sendiri, I'm not fine but it's okay."

Evelyn tersenyum, tapi raut muka nya tidak menandakan kalau perempuan itu benar-benar bahagia. "Kejar kebahagiaan kamu Van."

"Evel---"

Sekali lagi, Evelyn mengusap air mata nya. Lalu tangan nya menggenggam kedua tangan Revan. "Maybe this is our last hug."

Evelyn memang pernah meyakinkan hati nya sendiri kalau Revan adalah cinta terakhir nya, laki-laki yang akan ia pertahankan dengan cara apapun. Namun, tiga jam yang lalu semua itu berubah total. Sakit? Iya, sangat malah. Tapi bukan kah kebahagiaan Revan juga kebahagiaan nya? "Kejar perempuan itu, Van."

Revan mengangguk ragu, tentu ia tahu betul siapa 'perempuan' yang di maksud Evelyn, karena perempuan itu baru saja membaca buku tentang orang yang ia cintai. Orang itu adalah Sarah Galena Maurisa.

----

Sarah tidak pernah membenci takdir nya, kecuali saat ini. Saat ia merasa bahwa disini bukan tempat ia yang seharusnya, Ardian bukan kebahagiaan yang selama ini ia nanti. Nyata nya, saat berdua dengan suami nya, Sarah masih tetap merasa sebagian jiwa nya yang hilang. Entah dimana, dan bersama siapa.

Wanita berusia dua puluh lima tahun itu memang tersenyum, tapi hati nya tidak seperti itu. Perasaan kosong tersebut makin lama makin terasa, membuat Sarah kebingungan sendiri, mencari sebagian jiwa nya yang pergi entah oleh siapa.

Satu tahun adalah waktu yang sangat singkat untuk saling memutuskan untuk berpisah. Tapi itu lah jalan yang Ardian dan Sarah ambil. Alasan nya bukan karena perlakuan Ardian yang kasar atau sebagai nya, tapi Sarah lah yang memutuskan hal itu terjadi. Ardian awal nya tidak terima, tapi karena mendengar penjelasan dari Sarah, ia tahu kalau selama ini Sarah tidak lagi mencintai nya--melainkan hanya rasa kasihan pada sahabat sendiri.

"Sar." Sarah menoleh, lantas tersenyum mengetahui siapa yang baru datang. "Iya, Ar?"

"Pertama, aku mau ngasih sesuatu, tapi jangan marah dulu ke aku. Baca dulu baik-baik ya." Ardian tersenyum kecut sambil memberikan amplop putih yang tertempel prangko kota Tokyo disana. "Itu nyampe kira-kira dua minggu setelah kita nikah. Maaf banget Sar, aku tau aku egois."

Sarah tersenyum, lalu menggelengkan kepala nya. Ia berusaha mati-matian untuk tidak menangis. Sarah butuh beberapa menit untuk membaca surat tersebut, dari awal hingga akhir, Sarah tidak bisa berhenti menahan rasa rindu yang meluap-luap di dalam jiwa nya. Tapi, ia lebih memilih menepis segala nya. Menepis ekspektasi tinggi akan diri nya yang akan kembali bersatu dengan laki-laki tersebut.

"Ayuk Ar jalan." Ujar nya sambil menaruh surat tersebut di atas meja yang ada di dalam kamar nya.

Hidup itu berubah bukan? Surat tersebut di kirim dua tahun yang lalu, apakah mungkin Revan masih mencintai nya?

----


Wajah-wajah yang sudah lama tidak Sarah temui kini menyeruak di dalam satu ruangan. Ada yang wajah nya berubah, ada yang tetap sama. Ada yang sikap nya berubah--seperti Fikha yang dulu terkenal dengan tomboy banget sekarang mengenakan gaun feminim yang saat SMA dulu adalah hal yang haram bagi nya.

Ardian yang tadi datang bersama Sarah sudah pergi berbaur dengan teman-teman nya yang lain. Sedangkan perempuan yang mengenakan gaun lurus selutut itu memilih berdiri di barisan dekat dengan teman kelas nya.

"Asik dah udah mantanan juga masih tetep pergi bareng-bareng." Sindiran tersebut berasal dari teman nya--Dara. Sarah tertawa lalu memukul bahu Dara. "Mantanan bukan berarti musuhan kan ya."

"Asik, QOTD banget nih. Eh btw Ardian duda idaman banget. Jodohin gue sama dia Sar." Bukan rahasia lagi kalau sudah banyak teman-teman nya yang tahu kalau Ardian dan Sarah memang sudah berpisah.

Lagi, Sarah tertawa menanggapi candaan dari Sharon. "Gue laper dah, temenin ambil minuman yuk."

"LAPER YA MAKAN BUKAN MINUM, ATUH INI SI ENENG AYA-AYA WAE!" Sharon memekik keras, dengan logat orang sunda yang ia buat. Tanpa pikir lagi, Sarah menarik tangan Sharon untuk datang ke meja yang ada di sudut ruangan--tempat makanan dan minuman.

Semua nya terasa bahagia, Sarah dan Sharon beberapa kali mendapaat sapaan, saling memeluk, dan saling berteriak kepada teman lama yang ia temui. Menurut Sarah, minus dari acara reuni ini cuma satu. Yaitu sahabat nya, Alya tidak bisa datang karena sedang liburan di luar negeri.

Apalagi dari tadi Sarah tidak menemukan apa yang ia cari, perempuan itu sibuk melamun. Merasa kecewa karena ekspektasi nya yang terlalu tinggi untuk mengharapkan seseorang tersebut datang.

Tak lama berselang saat Sarah membalikan tubuh nya untuk kembali ke tempat asal--karena sudah mengambil minuman. Tubuh perempuan itu menabrak manusia lain di depan yang jelas bukan seorang perempuan karena Sarah tidak merasa ada sesuatu yang menonjol di dada tersebut. Mulut Sharon terbuka lebar saat melihat kejadian 'tabrakan' itu.

"Sarah?"

EvanescetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang