14. Ancaman

5.5K 364 13
                                    

Tidak ada angin badai, boro-boro, hujan juga tidak ada. Sang fajar justru dengan semangat menampakan diri nya yang cerah itu. Di pagi ini pula, Revan sudah setia nangkring di kursi Leo.

Bukan, bukan karena ia ingin menyapa Leo pagi-pagi seperti ini. Gila saja, rela bangun pagi dan sudah sampai sekolah di saat sebagian murid masih bergeliat di atas kasur? Tidak. Revan tidak segila itu.

Berkat khutbah dadakan semalam dari abang nya Rio, laki-laki itu berada disini sekarang. Siapapun nama laki-laki baru itu, dia jelas adalah sebuah ancaman bagi Revan. Rio memang jauh lebih bodoh soal akademik di banding Revan, tetapi kalau soal seperti ini, jangan berani mendahului Rio.

Atau mungkin Revan segila itu. "Pagi, Leo!" Sapa nya tanpa mau beranjak dari kursi Leo, beberapa anak yang ada di kelas juga menatap Revan heran, ia bukan anak kelas ini. "Lah lo ngapain, nyet?"

"Duduk."

"Mpok Siti yang pikun nya ga ketolong itu juga tau lo lagi duduk." Mpok Siti yang di maksud Leo adalah penjual kantin yang paling legend di sekolah ini. Karena kepikunan nya, wanita lanjut usia itu sering kali membuat gelak tawa para murid, oleh karena itu sekarang ia di bantu keponakan nya yang baru lulus SMA agar tidak salah mengembalikan uang.

"Nah dia aja tau, masa lo pake nanya segala."

"Minggir ah!" Leo menggeretak, menyuruh Revan menghilang dari kursi nya, atau paling banter pindah ke kursi Khafi yang ada di pojok agar laki-laki itu bisa masuk.

Setelah duduk di kursi nya, Leo langsung membuka ponsel dan menyalin sesuatu di buku tulis nya. "Ohh jadi lo dateng pagi pengen nyontek PR?"

"Bacotan lo ga berfaedah, mending bantuin gue nulis."

"Idih ogah." Revan bergedik. Sekarang sudah pukul tujuh kurang lima belas menit, dan sudah banyak anak-anak yang datang. Tetapi yang Revan tunggu malah belum datang.

"Ku menunggu, ku menunggu kau putus dengan kekasih mu..." menghilangkan bosan, Revan memilih bernyanyi walaupun suara nya terlampau sangat pas-pasan.

"Aku belum punya pacar, beb."

"Bangsat." Revan mengumpat ngeri saat Leo tiba-tiba berubah jadi banci dan bergelendot manja di lengan nya. "Kerjain dulu tuh PR, setan!"

"Gamau, lengan aa Revan nyaman banget buat di usel-usel." Leo masih setia mendekatkan kepala nya di lengan Revan seperti layak nya perempuan, sedangkan Revan sudah berontak sambil mengumpat. "Leo tai!"

"Astaghfirullah! Mau nge-homo jangan di kelas!" Suara itu sontak membuat Revan mendangah ke atas lalu dengan sekuat tenaga mendorong Leo hingga jatuh dari kursi nya dan mengaduh kesakitan, tapi Revan tidak peduli. "Gue masih nafsu sama Miyabi Sar, sumpah!"

"Miyabi nya ga nafsu sama lo."

"Sumpah gue ga homo, si Leo nih anjing!" Rutuk nya, Sarah dengan santai duduk di tempat nya--di belakang Revan. "Ngaku aja si Van, gue ga homophobic kok. Santai."

"Kambing." Revan melotot. "Perlu gue tunjukin kalo gue ini ga homo?!"

Sarah mengangguk, sebetul nya dia hanya bercanda, tetapi kelihatan nya Revan tidak terima akan hal itu. Sarah terus tersenyum meremehkan sebelum nafas seseorang terasa di wajah nya. "Tunggu dua bulan lagi gue punya pacar."

"Emang ada yang mau sama lo?"

"Ada. Lo contoh nya."

"Dih?" Sarah berdecak sebal, padahal hati nya seperti ada yang menggelitik. Bagaimana kalau nanti nya hal itu benar terjadi?

"Entar ke kantin bareng gue. Titik."

----

Waktu yang di nanti Revan akhirnya tiba, dan semua nya berjalan dengan lancar. Bukti nya ia sedang duduk berhadapan dengan Sarah sambil menunggu pesanan. Suasana kantin yang sangat ramai tidak lagi menganggu Revan.

Sepuluh menit kemudian pesanan mereka datang, Revan yang mengambil nya. "Yeay siomay nya datang!"

"Perasaan itu ga ada siomay nya," ujar Revan sambil meneliti makanan yang sudah di siram bumbu kacang tersebut. "Jadi lo beli 'siomay' tapi ga pake siomay nya?"

Sarah menggeleng cepat. "Gue ga suka. Cuma suka tahu cokelat nya aja. Kan ga enak kalo gue ke tukang siomay terus beli nya tahu cokelat." Lanjut perempuan itu. "Mending gue bilang 'mas beli siomay tapi ga pake siomay nya, tahu cokelat aja.'"

"Aneh lo. Meng-kambing hitam kan siomay."

"Lo lebih aneh, ga suka nasi pecel."

"Setidak nya gue ga meng-kambing hitamkan si nasi pecel buat beli ayam nya aja."

"Ga ada lagi apa selain kambing hitam?" Tanya Sarah bercanda, tetapi sedikit jengah juga mendengar membawa hewan-hewan itu terus.

"Gue boleh duduk disini ga? Kursi nya penuh semua." Revan dan Sarah mendongak dalam waktu bersamaan. Kedua nya sama-sama menunjukan wajah tidak suka walaupun terlalu terlihat jelas di wajah Revan.

"Engga. Kalo kursi penuh minta bungkus aja nanti makan di kelas." Ucap Revan datar.

"Tapi gue makan bakso?"

"Ah dasar curut," sungut Revan tapi akhirnya memberi duduk kepada Ardian--tentu di samping nya.

"Sar lo udah ngerjain PR----"

"Gausah kayak gitu ngomong nya. Gue udah tau kok, ngomong pake aku-kamu juga gapapa." Sarah tiba-tiba melotot ke arah Revan. "Kenapa? Lagian ngapain nyamar segala si kalo pacaran?"

"Gue bukan pacar nya!" Revan manggut-manggut mengerti. Sebenarnya ia tahu kalau Sarah itu mantan si curut ini, ya anggap ini hanya test saja lah.

"Gue pergi dulu deh. Takut ganggu hehehe."

****

Semangat revan! I love you💞 wkwkwk

EvanescetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang