26. Past

4.3K 302 0
                                    

Nama nya Febrio Akbar, atau yang biasa di panggil Rio. Umur nya tahun ini menginjak usia tiga puluh dua tahun, sudah menikah dan mapan dalam hal pekerjaan. Ia bukan golongan orang yang serius--dalam hal apapun. Tapi kali ini, laki-laki itu hanya diam di dalam kamar, walaupun sudah banyak ketukan pintu di kamar nya.

Rozan kemarin memilih kembali ke rumah, lupakan saja masa ospek yang harusnya ia jalani. "Buka apa Yo!"

"Tau elah, ga capek apa lo ngerem terus di kamar?!" Tambah Revan dengan menggebu-gebu.

Rio termasuk ke dalam salah satu orang yang humoris, juga orang yang sangat menyeramkan bila sedang marah. Bahkan kemarin laki-laki itu berteriak kasar kepada Mama nya untuk pergi. Tidak ada yang pernah tahu apa masalah yang terjadi sebenarnya antara ia dengan Mama nya.

"Rio jangan kayak tai dong, lo udah gede, malu harus nya sama istri lo!" Revan berteriak marah, buku-buku jari nya sudah mengepal satu sama lain. Di balik pintu, Rio juga sedang menahan amarah, rahang laki-laki itu mengatup kuat.

"Mama lagi sakit di kamar, sedangkan lo anak nya malah teriak-teriak suruh dia pergi! Inget, kalo ga ada Mama juga lo ga bakal ada, goblok!"

Rio membuka pintu kamar nya, lalu memukul wajah Revan sampai ia jatuh ke belakang. Kejadian itu terlalu cepat, Rozan tidak dapat menghentikan nya. "Lo sebut jablay kayak dia Mama? Makasih, gue juga berharap gue ga lahir dari rahim dia."

Di bantu Rozan, Revan akhirnya bisa bediri. Nafas nya tersengal, mata nya menatap garang Rio tanpa ampun. Sedangkan Rozan bergedik ngeri, ia yang selama ini besar berkutat dengan buku bisa apa? "Udah eh, kenapa jadi lo berdua yang berantem si?"

Sudah sepenuh nya sadar, Revan memukul Rio. Suara gaduh orang menabrak pintu lantas terdengar. Rio memejamkan mata nya merasakan nyeri di belakang tubuh akibat tadi mengenai pintu, lagi, rasa nyeri itu terus menjalar ke perut nya yang sedang di habisi oleh Revan. Ia tidak bisa memandang sebelah mata adik bungsu nya ini.

"Dasar tolol! Badan doang gede, mikir engga!" Maki Revan sambil terus melayangkan pukulan ke wajah Rio.

"Lo gatau apa-apa setan." Desis Rio, tangan nya kemudian mengambil kerah baju Revan dan membalas pukulan tersebut. Keadaan terbalik, Revan tersungkur di lantai dengan bibir bawah yang mengeluarkan darah.

"Dia Ma--ma lo!"

"BUKAN! IBU GUE UDAH MATI!"

"Woy anjing, berhenti ga lo berdua!" Teriakan Rozan tidak di gubris oleh kedua nya. Rozan menarik rambut nya frustasi, lalu memilih menelfon Gaby untuk datang ke rumah nya detik ini juga. Tidak ada yang bisa menghentikan Rio kecuali istri nya.

----

"Sakit kan?! Makanya gausah sok-sok berantem!"

"Gue tau lo ga bisa berantem, Zan." Rozan menekan kuat handuk basah yang ia gunakan untuk membersihkan luka wajah Revan. "Pelan-pelan nyet."

Setelah hampir selesai, Rozan melempar handuk tersebut ke dalam rendaman air hangat. "Bersihin mulut lo sendiri, gue ga suka liat bibir sobek. Jahit dulu sana ke tukang jahit."

"Iya-iya, gue tau lo takut liat ada bagian tubuh yang sobek."

"Gue ga suka!" Ralat Rozan cepat, sedangkan Revan malah tertawa, tapi hanya bertahan beberapa detik karena rasa nya nyeri. "SUKURIN!"

Kedua nya diam, Rozan berjalan mematikan pendingin ruangan lalu membuka jendela kamar dan berdiri di sana. Dari ketiga saudara tersebut, hanya Rozan yang dulu terlihat biasa saja, terlihat tidak peduli pada keluarga nya. Ia hanya berpikir bahwa kedua orangtua nya telah meninggal, dan itu tidak akan berpengaruh apa-apa bagi tekad nya untuk tetap menjadi anak yang baik. Tapi saat ini, semua nya terlihat lebih rumit. Ia tidak akan menyangka bahwa Mama nya akan datang ke dalam hidup nya.

"Anjing nih Rio," keluh Revan saat bercemin dan mengetahui kalau wajah nya sudah babak belur.

Sedangkan Rozan malah tertawa, "lagian bego, lo lupa kalo abang lo itu pernah gebukin orang sampe mampus? Untung lo adek nya, kalo engga mah sama nasib lo sama dia Van."

"Lo nyumpahin gue mampus?"

"Kaga, orang gue ngingetin." Revan kemudian kembali duduk di tepi kasur nya, sambil memegangi luka di bawah mata nya yang paling sakit. Tidak lama setelah itu, pintu kamar Revan di buka, menampilkan sosok yang masih mengenakan pakaian yang sama--kemeja hitam-- dengan luka lebam yang tidak jauh berbeda dari Revan.

Revan sedikit terlonjak kaget, takut-takut kalau Rio akan memukul nya lagi. "Ga ngajakin berantem lagi gue Van. Santai aja."

"Gue mau ceritain tentang Mama." Rio ikut meringsut duduk di samping Revan, sementara Rozan hanya membalikan tubuh nya ke arah dua saudara nya tersebut.

"Dulu Mama tuh cuma----aduh apa ya yang lebih lembut---oh ini, Mama itu dulu 'kupu-kupu malam' sedangkan Ayah bukan anak yang kayak gitu, Ayah kalem banget sampe dia lulus kuliah--persis kayak Rozan. Mama kehilangan orangtua nya pas umur tujuh tahun gara-gara kecelakaan, alhasil dia di pungut sama 'Tante' dan di didik untuk bekerja kayak gitu.

"Malam itu, Ayah pulang lembur dari kantor nya yang secara teknis ga jauh dari tempat Mama kerja. Terus dia ngeliat Mama lagi mabuk di jalanan dan hampir di perkosa sama preman-preman--padahal itu emang pekerjaan nya--terus Ayah nolongin. Singkat cerita, Ayah ini jatuh cinta pandangan pertama gitu loh sama Mama, terus pas tau kalo Mama itu 'kupu-kupu malam' dia beli Mama ke si Tante dan akhirnya mereka berdua bisa nikah, dimana Mama udah tobat dari pekerjaan itu. Awal nya Mama emang janji udah ga akan lakuin hal kayak gitu lagi, dia juga bilang kalo dia udah suka sama Ayah. But, Mama kayak gitu lagi pas sekitar umur gue sepuluh tahun.

"Ayah yang tau itu cuma diem, he really fucking loved her. Tapi saat itu Mama sendiri yang minta cerai, dan bilang kalau selama ini dia ga pernah cinta sama Ayah. So, abis di tinggal Mama, Ayah jadi sering sakit-sakitan dan akhirnya meninggal."

Revan dan Rozan sama-sama diam di tempat, sedang mencerna kata-kata Rio yang sangat sulit di mengerti--lebih tepat nya sulit di terima. "Lo tau dari mana?" Rozan bertanya.

"Dari Omah."

"Masa lalu ada buat di lupakan, right?" Ujar Revan, berusaha meyakinkan kedua abang nya, juga meyakinkan diri nya sendiri untuk tidak terlalu memikirkan hal tersebut.

"Iya, tapi bukan berarti bisa hilang juga dari pikiran kan?" Jawab Rio.

"Tapi bukan buat menghantui juga." Sela Rozan, dalam hal ini secara tidak langsung ia mendukung Revan. "Gue udah maafin Mama sebelum dia minta maaf kok."

"Ya iya Zan! Lo ga ada dalam kejadian itu langsung!"

"Ayah pasti udah maafin Mama kok, terus kenapa kita belum? Mama cuma punya kita saat ini, gue yakin juga sakit nya Mama parah." Ucapan dari Revan membuat Rio diam. Laki-laki itu sedang bergulat argumen dengan diri nya sendiri.

"Oke. Biarin Mama disini."

EvanescetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang