I

335 27 82
                                    

Gadis itu mendekat, menelengkan kepala

dan netranya menerawang ke arahku dalam-dalam.

Pandangannya lembut dan cenderung lugu jika kau lihat,

tetapi gadis ini sebenarnya melebihi apapun dari yang bisa kau bayangkan.

Aku mencondongkan badan, berusaha meraih dagunya

dan berbisik pada telinganya.

Lalu, kukatakan dengan hati-hati,

"karena aku bisa melihat masa depan."

***

Nyme, Dawncourt bagian barat, Tahun ke 513

Dirundung kegelapan malam yang membutakan, dengan bekal persediaan terbatas yang semakin menipis, ditemani jubah-jubah tebal nan panjang dari sutra cokelat gelap berhiaskan benang-benang emas yang terjalin dengan indah, juga baju perang yang mengilap, sang Putra Mahkota dari Kerajaan Helione masih termenung di atas kudanya yang bergeming. Menyatu dengan angin yang seolah sirna ketika mereka sampai di sisi utara Eranor—Dawncourt, suatu wilayah damai dan elegan, tenang dan rupawan seperti para penghuninya yang amat menghargai keanggunan dari tiap-tiap orang.

Berkawan dengan kelima pengawalnya dari istana, Raizel masih belum memijakkan kaki menyusul semua kaki kudanya dan para pengawal. Manik hitamnya yang memukau menyatu dengan ketampanan paras seorang Putra Mahkota yang sebentar lagi menginjak usia dua puluh tahun. Bilah pedang yang ditempa pada tempat kelahirannya ia sematkan pada galur sabuk yang melingkari zirah, tersarungi dengan aman dan bersih tanpa noda atau bercak apapun.

Keenam penunggang kuda pinjaman itu telah melakukan perjalanan yang cukup jauh hingga memakan hari, membentangi sisi timur ke barat. Menembus hujan dan menyeberangi pulau. Dalam renungannya, Raizel tidak terlalu menyukai kuda yang ia tunggangi ini. Ia merindukan kudanya sendiri, seekor kuda calnoe—kuda perang yang memiliki ukuran tubuh sedikit lebih besar dari kuda biasa dengan bulu hitam mengilap, halus dan indah. Sementara kuda yang ia tunggangi ini adalah kuda cokelat biasa yang dibiakkan pada peternakan kepercayaan ayahnya, yang mana sering menyediakan kuda-kuda untuk keperluan lain selain berperang—mereka memang pergi bukan untuk berperang.

Dapat terlihat raut kelelahan dari wajah masing-masing pengawal, tetapi tidak dengan sang Putra Mahkota, pemuda itu malah menampikkan raut wajah yang bersemangat. Kulit kuning langsatnya bersinar ditempa sinar rembulan purnama yang benderang, juga menyentuh baju perang yang ia kenakan sejak berpergian dari istana yang memantulkan kembali cahaya tersebut. Tulang pipinya yang tinggi juga menyembunyikan kelelahan yang tidak tampak dari penampilannya. Terlalu bersemangat.

"Baiveru mor l'ase niroumn shien, Talaven? (Tidakkah ini sudah terlalu lama, Your Highness?)" Salah seorang pengawal akhirnya menyahut dengan ragu-ragu, memberanikan diri untuk meredakan keheningan. Raizel bukanlah sosok Putra Mahkota yang ditakuti oleh semua penghuni istana ataupun disegani karena jarang berbicara—meskipun jika suasana hatinya sedang buruk, pemuda itu tidak berpikir dua kali untuk menebas kepala orang lain yang membuat petaka dengan bilah pedangnya. Namun, mempertanyakan keputusan seorang Putra Mahkota juga bukan sesuatu yang enteng.

"Baive, (Tidak,)" balas Raizel singkat yang mampu membuat kelima pengawalnya terbungkam rapi.

"Figurr mon l'ase denian tales noin agarre mein mor luam gratoz tiga hoz, Talaven, (Tetapi kita sudah berdiam diri di batuan gersang ini selama hampir tiga jam, Your Highness,)" timpal seorang pengawal lagi. Ia memiliki tubuh yang paling jangkung di antara semua orang di sini, lantaran suaranya begitu rendah dan serak.

The Crimson Pawns (A Crownless King #1) (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang