II

176 16 24
                                    

Gemerlap cahaya itu menangkupkan wajahku.

Manikku dibuatnya buta sesaat, kemudian diberkahi

oleh kilasan istana yang begitu indah dan bersinar.

Sungguhpun, aku tidak pernah ingin memiliki hidup di dalam istana,

karena aku tahu, bahwa tempat macam itu

hanya memiliki keindahan yang fana.

***

Cleveland, Ohio, Tahun ke 2016

Berkelana ...

... menginjak lambar gelap di bawah ...

Bisikan-bisikan itu kadang mendesis jauh di belakang sana, pada sebuah tempat dalam telinganya yang tidak bisa ia jamah. Kadang bisikan itu berputar-putar di kepala, di tengah-tengah otaknya dan bersemayam di sana. Atau terkadang bisikan itu justru terdengar begitu dekat, di belakangnya atau tepat di samping telinganya, membelai bagai angin dingin yang membuatnya meremang. Kalimat yang diucapkan juga berlainan. Dari sekian banyak bisikan, kadang ia hanya mengerti sebagian, sisanya seperti teka-teki.

Goresan demi goresan yang tercipta di atas sebuah kertas semakin mendekati pada sebuah wujud. Serbuk-serbuk grafit dari pensil yang bertaburan di sekitar karyanya Alice tiup berkali-kali agar tidak merusak gambar atau mengotorinya. Ia tidak pernah menyapunya dengan punggung tangan atau benda lainnya yang lebih keras dari bulu. Dengan sedikit tekanan, serbuk-serbuk itu pasti akan membekas dan membuatnya tidak puas. Gadis itu selalu menekankan kesempuranaan untuk sesuatu yang sangat ia sukai. Jadi, waktu semalaman dapat ia habiskan secara penuh untuk menghasilkan suatu karya yang ia suka. Itu jika esoknya adalah hari libur. Jika bukan, ia akan bangun lebih pagi dari hari biasa dan melanjutkan buah tangannya.

Tangannya bergerak bagai kesetanan, cepat dan penuh hasrat. Kalau sudah bermain dengan pensil dan kertas, ia tidak akan mudah terdistraksi. Berbagai macam hal tentang perhitungan dari karya yang sedang ia buat, atau ornamen-ornamen lain yang akan ia tambahkan tanpa merusak keseimbangan karya dan masih banyak lagi akan mendesak tiap-tiap ruang kosong yang ada di kepalanya. Seolah dirinya dibuat tuli dan bisu. Mengusir bisikan-bisikan yang tidak pernah jelas berasal dari mana. Namun, mata gadis itu melihat semuanya tanpa ada yang terlewat. Maka itu, sebelum mulai menggambar, Alice biasanya membuka tirai jendelanya yang gelap terlebih dahulu, membiarkan tirai yang tembus pandang memisahkan dirinya dengan jendela.

Jika fajar mulai menyingsing, sinarnya akan menyapa penglihatannya lebih dulu dan mengembalikannya kepada kehidupan. Sesudahnya, Alice akan cepat-cepat merapikan pekerjaannya—selesai atau belum. Bukan karena ia harus bersiap untuk sekolah atau sarapan, lagi pula itu masih terlalu pagi. Namun, karena ia harus menyembunyikan karya-karyanya di tempat yang tidak terjamah oleh siapapun di rumah itu selain dirinya sendiri.

Lumayan mudah. Dia tidak mempunyai saudara kandung, dan ibunya tidak terlalu peduli dengan apa yang ia lakukan di kamar selagi ia selalu memenuhi panggilan ibunya.

Hari ini sedikit lain dari biasanya. Fajar telah lama terbit, matanya telah menerima serbuan sinar matahari yang menyilaukan beberapa kali tetapi ia masih tidak tergugah dari kursi dan meja belajarnya. Lampu pijarnya masih menyala terang, biarpun mentari di luar sana sudah cukup memberinya penerangan. Tangan kanannya masih menari-nari di atas kertas, diikuti dengan maniknya yang berwarna cokelat terang. Ditimpa oleh sinar mentari, maniknya terlihat seperti perunggu yang akan cair.

Sesadar apapun bahwa gambarnya kali ini memakan waktu yang cukup lama, Alice tetap tidak bisa berpaling. Jemarinya, maupun maniknya seolah terikat dengan gambar yang sebentar lagi akan selesai. Seekor gagak hitam yang sedang merentangkan sayapnya, dikelilingi oleh sulur-sulur dedaunan yang melilit tubuhnya. Di samping burung itu, ia menggambar berbagai macam bunga dan bulu-bulu yang bertebaran maupun kelopak yang berjatuhan. Gagak itu terjebak, tidak bisa terlepas dari jeratan sulur.

The Crimson Pawns (A Crownless King #1) (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang