Dulu, tanahku tidak sekecil ini.
Hanya saja, si empunya kekuatan menginginkan lebih.
Namun, alih-alih mendapatkan bagian yang lebih luas,
ia justru mengandangi kami semua dalam penjara sempit ini.
***
Perjalanan dari rumah Alice dengan sekolahnya tidak begitu jauh. Memang memakan waktu beberapa menit, dan keduanya akan sampai di sekolah tepat pada waktunya—ketika bel berdering. Jalanan pagi ini lumayan sepi. Alice dan Liam dapat menggunakan bagian tengah jalan, tidak melangkahi trotoar yang penuh dengan dedaunan kering.
"Aku senang sekarang sudah musim gugur." Alice mendongak, membiarkan angin musim gugur menepis wajahnya. Ia menghela napas panjang, kemudian membuangnya.
"Aku tak suka karena liburan sudah berakhir," usung Liam sembari memasukkan kedua tangan ke dalam kantung hoodie, "kini semuanya akan penuh dengan trigonometri."
Alice tertawa kecil. "Yang kau pusingkan hanyalah soal angka dan teman-temannya."
Liam menoleh kepada gadis tersebut. Seperti biasa, Alice selalu mengenakan kalungnya yang berwarna perak dengan liontin bintang. Liontin itu tidak terlalu kecil atau pun besar, hanya saja polos dan tidak ada hiasan apapun lagi. Liam sering melihat Alice memainkan liontin tersebut, tetapi sampai sekarang ia masih belum tahu dari mana gadis tersebut mendapatkannya. Kadang-kadang, gadis itu sering memainkan jemarinya pada liontin tersebut, sementara pandangannya seolah menerawang pada suatu hal yang tak bisa Liam jamah. Di antara keduanya, masih ada selubung tipis yang tak bisa Liam robek begitu saja, meski telah beberapa tahun mereka berteman.
"Siapa, sih, yang menyukai matematika?" ucap pemuda itu kemudian.
Gadis brunette itu mengedikkan kedua bahu. "Yang jelas bukan dirimu."
Liam membentuk sebuah seringai kecil dan meliriknya, "Yang jelas juga bukan dirimu."
"Setidaknya aku tidak sebenci itu kepada matematika seperti dirimu. Lagipula, Liam," Alice memutar bola mata, "kau ingin menjadi arsitek, tetapi kau sering sekali bolos saat pelajaran yang berhubungan dengan angka, sudut dan semacamnya. Maksudku—bagaimana sebuah gedung dibangun tanpa itu semua?"
Mata Liam membalas tatapan Alice sambil menyiratkan kebingungan. "Mungkin, kurasa aku hanya ingin mengurusi tampilan luarnya saja."
Alice mendengkus. "Kau pikir merancang bangunan semudah itu?"
"Kau sendiri," Liam mengubah topik, "bagaimana dengan dirimu?"
Seketika bayangan tentang serpihan-serpihan kertas berisi gambaran tangannya tadi menggentayangi benak Alice. Kini ia teringat lagi ketika ibunya sendiri merobek kertas-kertas tersebut, yang akhirnya ia buang ke tempat sampah. Namun, sebenarnya kejadian seperti itu telah terjadi berulang kali, sehingga Alice mulai terbiasa dan dapat menyesuaikan suasana hatinya dengan cepat.
"Kau tahu sendiri." Gadis itu melempar pandang ke arah lain. Tidak ingin menatap Liam.
Liam tidak bisa membalas, ia kembali membatu. Pemuda itu baru sadar bahwa dirinya telah menanyakan sesuatu yang salah. Dan sekarang ia menyesal, menyumpahi lidahnya sendiri dalam hati.
Bertahun-tahun berteman membuat dirinya paham bagaimana cara Alice memendam semuanya, bagaimana cara gadis itu tidak melampiaskan apa yang telah ia terima selama ini. Dan itu adalah salah satu hal dari lainnya yang membuat Liam terpukau. Alice masih bisa menyeberangi lautannya sendiri yang penuh hambatan tanpa tenggelam, dan sampai pada sebuah pulau tidak berpenghuni yang sepi dan sunyi dengan selamat tanpa bantuan siapapun, hanya berbekal sampan dan dayung.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Crimson Pawns (A Crownless King #1) (ON HOLD)
FantasyEranor--sebuah dimensi telah terbentuk dari suatu mantra kuno yang merajuk pada sihir hitam dan entah atas rapalan siapa tempat itu tercipta. Kini, dimensi tersebut hampir kehilangan keseimbangan. Setelah berabad-abad berdiri dengan agung, setelah r...