Suatu hari, ada seekor singa dan rusa yang bersahabat.
Sulit dipercaya, bagi makhluk-makhluk lainnya, melihat hal langka seperti itu dengan mata mereka.
Namun, keduanya sering berkelana hutan dengan gembira, berteduh dan mendengarkan nyanyian hutan bersama-sama tanpa perkelahian.
Sampai suatu saat, sang singa ditemukan mati bersimbah darahnya sendiri, karena tusukan tanduk sang rusa yang sudah pergi.
***
Benteng Talhar, Duskbeam bagian selatan
Dewi kaum Talhar adalah Amarotus, dewi kedermawanan. Memiliki lambang kedua tangan yang terbuka, seolah menawarkan pertolongan atau memberikan apapun yang pemujanya butuhkan. Berkibar pada panji dengan latar belakang berwarna hijau tua, dan garis-garis yang membentuk gambar tangan tersebut berwarna kuning pucat. Baltasar ingat berbagai filosofi lain yang ia tahu dari dongeng-dongeng ayahnya sebelum ia tidur waktu dulu. Namun, semakin dirinya menginjak usia remaja—bermula saat mendapati kedua orangtuanya terbunuh di atas ranjang—Baltasar semakin ragu atas keberadaan dewinya.
Atau bahkan dewa-dewi lainnya.
Darah yang mengering di atas kasur orangtuanya, atau yang menggenang di lantai kamar mereka. Baltasar masih mengigat, hari itu—malam itu—melekat pada kedua benaknya dan selalu menghantuinya di malam-malam tertentu. Matanya menolak untuk terlelap, hatinya terlalu gelisah untuk meraih alam mimpi. Selama malam itu, ia hanya berguling-guling di kasurnya. Mencoba semua sisi, mencari mana sisi terbaik yang dapat membuat dirinya terlena dan akhirnya jatuh tidur.
Biasanya, ia akan tidur sehabis meminum segelas teh mint lemon, dan mendengarkan dongeng dari ayahnya. Malam itu, semua rutinitas tersebut sudah terlaksana. Ayahnya mengakhiri dongeng dengan sebuah senyuman, kecupan di dahi dan belaian di ubun-ubunnya.
"Suatu saat nanti," kata-kata ayahnya berdengung di kepalanya, "aku tahu kau akan pantas menduduki posisiku, Anakku." Setelahnya, Baltasar tersenyum sembari berkaca-kaca menatap ayahnya. Saat itu, ia belum mengetahui apa-apa tentang mengemban jabatan sebagai kepala tertinggi klan. Yang ia tahu hanyalah memakai jubah sakral berwarna hijau tua dengan hiasan benang kuning yang berkibar, duduk santai di atas kursi besar, bercengkrama dengan petinggi lainnya, dan memberikan perintah yang diperlukan.
Baltasar kecil tidak tahu bahaya macam apa yang mengancam posisinya saat itu, tidak mengerti bahwa takhta adalah soal hidup dan mati, nyawa dan darah. Belum mengerti bahwa manusia nyatanya lebih mengerikan dibanding beruang-beruang ganas dan liar di luar sana. Jadi, pada saat itu ia tersenyum lebar dan menjawab, "Aku tahu! Aku ingin menjadi seperti ayah! Aku akan meminta seribu kuda untuk aku pelihara, lalu bidak permainan algare yang besar dan dapat aku mainkan bersama teman-temanku! Lalu aku akan meminta—"
Ocehan lugu milik Baltasar terhenti karena derai tawa ayahnya yang mampu menghangatkan Baltasar bagai perapian kala musim dingin. Kehangatan itu memberinya rasa aman, tenang, dan bahagia. Baltasar pernah berdoa kepada Amarotus untuk meminta supaya waktu dibekukan agar ia bisa terus tertawa bersama ayahnya. Mengobrol berdua, menikmati teh, dan tertawa dalam kebahagiaan.
"Baltasar, Sayangku," ujar ayahnya saat itu, "menjadi kepala tertinggi klan mungkin memang akan mendapatkan apa yang kau mau. Tapi, meminta semua keinginanmu untuk dikabulkan bukanlah hal bijak." Malam itu, sang ayah menyempatkan diri untuk merebahkan diri sebentar di samping Baltasar sebelum meninggalkannya. "Saat kau menjadi kepala tertinggi nanti, kau harus memakai empatimu." Telunjuk sang ayah mendarat pada dada kiri Baltasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Crimson Pawns (A Crownless King #1) (ON HOLD)
FantasyEranor--sebuah dimensi telah terbentuk dari suatu mantra kuno yang merajuk pada sihir hitam dan entah atas rapalan siapa tempat itu tercipta. Kini, dimensi tersebut hampir kehilangan keseimbangan. Setelah berabad-abad berdiri dengan agung, setelah r...