Dalam kepiluan dan siksa dari kegelapan, aku bisa melihat kilat itu di matanya.
Secercah kecil, terlihat lemah, tetapi aku bisa melihat apa yang mampu ia lakukan.
Bukan sekarang, atau beberapa abad lagi, melainkan pada waktu yang sangat krusial.
Bahkan bumi di setiap bagian wilayah manapun akan tunduk pada kilat mata itu nantinya.
***
Hutan Montmery Hills, Theead, Eranor, Tahun 776
Kegelapan pekat, sunyi dan dingin.
Isaac tidak pernah mengira dirinya akan terjebak—terdampar—di tempat seperti ini. Di tengah hutan belantara, di tengah serbuan malam dan angin yang tidak bersahabat. Kedua lengannya merinding ketika bergesekkan dengan udara yang berembus. Kakinya beberapa kali menyentak akar-akar raksasa yang membentang di tanah hutan sehingga pemuda itu harus merunduk saat berjalan.
Semuanya terjadi begitu saja, dengan begitu cepat. Ia sudah duduk di dalam kelas dan sejak itu pendengaran Isaac berangsur-angsur menjadi lambat. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Penglihatannya ikut berputar-putar, kepalanya pening sampai ia tidak lagi dapat melihat apapun. Dan tiba-tiba saja, begitu membuka mata ia telah berada di tempat ini.
Kaki Isaac menginjak beberapa daun kering, menimbulkan suara lirih dan kersik. Ia bahkan tidak tahu ke mana arahnya berjalan. Ia bahkan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Berdiam diri di tengah hutan kedengarannnya bodoh, tetapi kadang itu adalah sesuatu yang cerdas untuk dilakukan—seperti menunggu kedatangan orang lain, misalnya. Sialnya, ia tidak tahu mana yang sebaiknya harus ia lakukan di tempat asing ini. Setidaknya, ia masih memiliki sumber cahaya.
Begitu menengar suara kaki tersandung akar untuk kesekian kali di belakangnya, Isaac menoleh sedikit. "Apakah kau akan terus berjalan di belakangku seperti itu layaknya penguntit?"
Alice hanya mengamati rambut pirang pemuda itu yang kian menggelap dari belakang. Kemudian secepat mungkin membawa matanya kembali ke bawah untuk memeriksa jalan, berjaga-jaga untuk tidak tersandung lagi—dan mengurangi rasa malunya. "Tetaplah terus berjalan."
Isaac menghela napas pasrah. "Aku bahkan tidak tahu ke mana kakiku melangkah."
Keduanya melangkah dalam diam, ditemani bisikan angin yang berembus dari depan dan cahaya lampu dari ponsel Issac yang entah bertahan untuk berapa lama lagi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lain yang layak untuk mereka tuju, tidak ada suara ataupun penerangan lain. Yang ada hanya suara jangkrik, angin, dan gelap. Alice hanya bisa mengekor satu-satunya manusia yang ia temui saat ini dengan penuh keraguan. Tidak ada hal yang lebih mungkin untuk ia lakukan sekarang, setidaknya ia harus mencari tempat yang terasa aman terlebih dahulu.
Gadis itu sudah hampir putus asa ketika telinganya mendengar suara gemerisik lain dari arah yang tidak jauh darinya. Ia berhenti, suara itu masih berlanjut. Bukan berasal dari pemuda di depannya, karena asal suara tersebut justru dari belakang. Isaac berhenti ketika tidak lagi mendengar langkah kaki di dekatnya. Alhasil, pemuda itu berbalik, menemukan Alice yang bergeming dan menoleh ke belakang.
Isaac mengerutkan dahi. "Apalagi sekarang?" gumamnya. Namun, ketika mulutnya ingin bertanya, sekelebat bayangan di depan sana berhasil mendapatkan perhatiannya. Sontak langkah kakinya berhenti.
Perlahan Alice mundur ke belakang, semakin mendekati Isaac tanpa sekalipun memeriksa jalinan akar raksasa yang ada.
"Berhenti sebentar," tutur Isaac. Alice menurut, ia menoleh ke arah pemuda itu dan menemukan ekspresi penuh waspada yang sama dengannya. Ia kembali berpaling, memeriksa keadaan yang kembali sunyi. Tidak ada gerakan, tidak ada gemerisik, bahkan ia tidak dapat merasakan semilir angin yang menggelitik. Hanya gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Crimson Pawns (A Crownless King #1) (ON HOLD)
ФэнтезиEranor--sebuah dimensi telah terbentuk dari suatu mantra kuno yang merajuk pada sihir hitam dan entah atas rapalan siapa tempat itu tercipta. Kini, dimensi tersebut hampir kehilangan keseimbangan. Setelah berabad-abad berdiri dengan agung, setelah r...