VI

92 11 44
                                    

Dahulu kala, para naga saling berhamburan di semua tempat, saat makhluk-makhluk lain belum tercipta.

Mereka adalah jelmaan dari para dewa yang orang-orang sembah.

Namun, itu semua hanya kebohongan.

Aku telah hidup lebih lama dari mereka—lebih tua dari para dewa yang mereka sembah.

Dan jauh sebelum itu, aku tahu musibah macam apa yang akan tejadi berulang kali.

***

Hutan Montmery Hills, Theead, Eranor

Ketika mencelikkan mata, Alice kembali berada dalam gelap. Udara dingin yang menggelitik kulitnya, maupun sunyi dan senyap yang seakan membuatnya tuli. Aroma yang menguar tidak bisa ia bedakan, seperti matanya yang tidak bisa melihat apa-apa. Ia terduduk, kedua tangannya yang bertumpu merasakan tekstur bebatuan yang sudah diperhalus. Pening di kepalanya masih tersisa, tetapi menghilang perlahan-lahan. Gadis itu kemudian mulai teringat—hutan, monster dan luka.

Luka!

Sontak, Alice memeriksa betisnya. Yang ia lihat bukanlah celana cokelatnya yang terkoyak tadi, melainkan kain terusan putih. Ia tidak mengenakan pakaian awalnya, yang kini terpasang pada tubuhnya adalah tunik putih, panjang hingga menutupi mata kakinya. Ia menyibak pakaiannya hingga betis, dan di sana, kakinya tidak memiliki luka hasil cakaran segores pun, bahkan tidak dengan bekasnya.

Ini terasa janggal. Benar-benar janggal. Alice pun berdiri. Ia mendongak, mengamati semua sisi lorong tempatnya berada sekarang. Udaranya lembab, kini hidungnya dapat mencium aroma anyir yang tidak sedap. Telinganya tidak mendengar apa-apa, untuk tempat seperti ini, Alice menebak dirinya sendirian. Ia tidak melihat apapun, hanya satu obor di atas kepalanya yang terpatri pada dinding di hadapannya, dan sesuatu terang yang menari-nari di depan sana.

Merasa tak ada lagi yang bisa ia lakukan, Alice memilih mendekati hal tersebut. Lambat laun, ia bisa melihat bahwa itu adalah api dari obor lainnya. Jalan di depannya menikung, menuntunnya kepada lorong yang penuh dengan obor di dinding. Ia mengikuti jalan tersebut, lorong sempit yang di kedua sisinya terdapat obor pada beberapa meter sekali. Tidak ada lubang udara, pintu atau apapun. Alice harusnya merasa takut, terjebak di lorong tanpa pintu keluar yang terlihat. Namun, ia justru merasakan ketenangan, detak jantungnya normal dan semuanya terlihat biasa saja.

Tubuhnya tidak gemetar, tidak ada firasat buruk yang muncul, dan kepalanya seringan kapas—peningnya telah pergi. Tidak ada bisikan-bisikan yang bisa membuatnya gila.

Kaki telanjangnya menyusuri lorong tersebut, tangan kanan Alice merunut dinding di sisi kanan sembari merasakan permukaannya. Lorong itu seolah tidak memiliki ujung, hanya terbentang begitu saja, dilengkapi obor di sisinya. Seolah tiap kali Alice melangkah, tempat itu akan mengular dengan sendirinya. Dan setelah beberapa langkah, obor di atas seketika berkurang sedikit-sedikit, hingga Alice sampai pada bagian lorong yang memiliki obor dalam jarak yang berjauhan dan hanya pada satu sisi.

Semakin berjalan jauh, Alice melewati beberapa ceruk lorong lainnya. Hanya saja tidak ada penerangan di dalam sana. Alice memilih melanjutkan langkahnya pada lorong utama, hingga ia menemukan seorang gadis kecil yang sedang meringkuk menghadap dirinya di ujung sana.

Alice berhenti, memerhatikan gadis tersebut, kepalanya tertunduk, tersembunyi di antara kedua lutut. Pakaiannya sama seperti yang ia pakai—tunik putih. Rambut cokelatnya tergerai sampai di atas pinggang. Gadis kecil itu hanya diam, bergerming dan meringkuk kaku seperti boneka.

The Crimson Pawns (A Crownless King #1) (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang