"Izinkan gue mendapat kesempatan kedua dari elo, Qilla"
Perkataan itu semakin terngiang-ngiang di pikiranku setiap harinya.
Cielah nasibku kayak lagu. Aku mau tidur, aku ingat kamu. Aku mau makan, juga ingat kamu. Stop. Back to story.
Sudah dua hari ini aku ga bisa menghilangkan ucapan Faqih dan itu membuatku berfikir keras untuk memberi kesempatan atau tidak. Sialnya lagi lusa adalah hari dimana aku akan ditunangkan oleh Faqih a.k.a mantan sekaligus musuh rangkap calon tunangan.
Aku sekarang ga sekolah dan berada di atas kasur karena kata Ibu aku diizinkan sama guru untuk tidak berangkat selama 2 hari kedepan dengan alasan kakekku sakit. Padahal kan kakekku sudah meninggal 6 tahun silam.
Iya, aku izin karena akan melangsungkan acara pertunanganku dan Faqih. Aku tak tahu apa-apa tentang persiapan karena semuanya sudah diurus oleh para ibu-ibu. Jadi aku tinggal nunggu saja, instan sekali bukan?
2 hari lagi, bayangkan 2 hari lagi aku udah terikat status dengan seseorang. Seseorang itu cinta pertamaku, orang yang udah buat aku sakit hati, menjadi musuhku, dan kini akan menjadi tunanganku.
Tringg.. Bunyi hpku berdering yang dari nada deringnya aja aku tahu bahwa ada telephon masuk.
Ketika aku buka hpku dan tercengangnya aku melihat nama Faqih si musuh berat tertera di layar hpku.
Kali ini angkat ga ya? Kemarin-kemarin Faqih nelpon ga pernah kuangkat. Sekarang? Angkat atau ga? Aku belum siap ketemu dengannya karena aku setiap memikirkan kata-katanya malam itu saja membuatku panas dingin. Bagaimana jika bertemu dengan orang yang mengucapkannya.
Ajaibnya lagi aku menggeser tombol merah, tetapi kegesernya tombol hijau. Yaaah.. Nyambung deh ini.
"Akhirnya elo angkat juga"
"Hallo Qilla"
Ekh.. Ya Allah, aku jawab apa ya. Grogi nih sama calon tunangan.
"Ii.. Iya"
"Qil elo siap-siap dah, gue otw nih. Bye"
Tut..tut..tut..tut..
Eh buset nih orang, asal nyuruh-nyuruh aja. Dasar emang ga sopan, ga punya etika.
Yakali sekali aku jawab panggilannya itu juga salah pencet langsung kasih perintah aja.
Tin.. Tin..
Dari kamarku terdengar bunyi klakson mobil yang nyaringnya minta ampun dipendengaranku. Sial, ganggu banget nih bocah. Cepet lagi datengnya. Oh iyaya, rumah Faqih kan disebelah rumah gue.
"Qilla, ada Faqih nih. Cepet turun" teriak Ibu.
Yaampun Bu, aku aja ga setujuin mau jalan sama tuh bocah.
"Qillaaa" teriak Ibu lagi.
Mau tak mau aku menyahut kembali, "Iya Bu, bentar aku lagi ganti baju" bohongku padahal sekarang aku masih tidur-tiduran dikasurku sambil gulang-guling kesana kemari dengan panik.
Sudah empat menit berlalu aku masih sibuk dengan pikiranku. Apakah aku harus turun untuk menyambutnya? Ataukah aku harus berpura-pura sakit mendadak?
Tok-tok-tok.
Aku berdecak sebal dan masih panik.
Tok-tok-tok. Ketokan pintu kamarku pun berbunyi kembali. Palingan Ibu yang muncul dengan ocehannya dan itu akan aku beri alasan dengan opsi kedua. Berpura-pura sakit mendadak.
Dengan ragu akhirnya aku beranjak dari rebahan di kasurku dan berjalan untuk membukakan pintu dengan setengah hati. Ga niat sist.
Eh buset nih orang, aku kira dia Ibu. Lah ini sih bocah songong. Qil, gitu-gitu dia yang bakalan jadi tunangan elo!.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enemy To Love [END]
Teen Fiction"Alasan gue cuma satu, yaitu berubah!" Berubah untuk terlihat kuat dihadapan kalian semua, terutama dia. -Qilla. ♥ END ~