Rara tersenyum senang melihat daun yang berjatuhan di jalanan. Mereka sudah sampai di Paris, dan Gio sedang membelikannya cemilan sekarang karena Rara ingin makan cemilan. Untungnya Gio telah menukarkan uangnya di money changer di Jakarta.
Rara menunggu Gio di tempat duduk terdekat. Hamil si kembar membuatnya lebih cepat merasa lelah. Dan kehamilannya pun rentan karena ia masih dibawah 20 tahun. Maka dari itu, Gio lebih protektif saat mengetahui bahwa Rara hamil.
"Kamu kedinginan?" tanya Gio yang tiba-tiba sudah duduk di samping Rara.
Rara menoleh. "Nggak juga," sahutnya ceria. Rara memang mengenakan jaket tebal sejak di pesawat karena mereka transit di Amsterdam, yang memiliki iklim yang sama dengan Paris.
"Diminum dulu coklat panasnya," kata Gio sambil menyodorkan segelas coklat panas.
Rara mengambilnya dan meminum coklat panasnya. "Mas, cemilannya?"
Gio menyodorkan biskuit untuk Rara. Gio memang selektif dalam urusan memilih makanan sejak Rara hamil.
"Ayo kita pergi," ajak Rara setelah selesai memakan biskuit dan meminum coklat panasnya.
Gio berdiri dan membuang sampah yang tadinya ada di tangan Rara. Rara ikut berdiri. "Ayo," kata Gio sambil merangkul bahu Rara.
Koper mereka sudah dimasukkan ke dalam taksi terlebih dahulu, sehingga Gio tak perlu repot-repot membawa kopernya.
Mereka masuk ke taksi dan menuju hotel. "Jalan-jalannya besok aja, ya?" pinta Gio sambil merangkul bahu Rara, yang dibalas Rara dengan anggukan.
---------
Rara sekarang sudah berumur 17 tahun. Gio dan Rara merayakan ulang tahun Rara dengan makan malam di rooftop hotel tempat mereka menginap, dan kebetulan dekat dengan menara Eiffel.
"Kamu suka?" tanya Gio sambil mengusap pipi Rara.
Rara mengangguk senang. "Best present ever!" serunya.
Gio tertawa. "Bukan. Bukan ini hadiah yang sebenarnya."
Rara mengerutkan kening. "Jadi, masih ada hadiah?" tanyanya.
Gio mengangguk. "Tentu. Ini cuma perayaan, bukan hadiah," sahutnya sambil meraih tangan Rara dan menggenggamnya.
Rara tersenyum hambar. "Ini pertama kalinya aku merayakan ulang tahun dengan orang selain keluargaku. Sejak Ibu meninggal, aku nggak suka merayakan ulang tahun, namun Kak Elin selalu memaksa," ceritanya.
Gio mengerutkan kening. "Kenapa? Perayaan ulang tahun hanya sekali dalam setahun."
Tatapan Rara menjadi sendu. "Ibu meninggal saat ulang tahunku yang ke-10."
Gio terkejut dan genggamannya pada tangan Rara mengerat. "Rara..."
Rara tersenyum cerah. "Sudahlah, kita ke Paris bukan untuk sedih-sedihan, kan?"
Gio mencubit pelan hidung Rara. "Ini pertama kalinya kamu merayakan ulang tahun bersama suami, kan?" godanya.
Rara tergelak. "Iya dong," sahutnya. Namun ekspresi bahagia Rara luntur. "Huh..."
Gio mengerutkan keningnya. "Kamu kenapa?" tanyanya bingung.
"Dulu Kak Dika janji sama aku kalo dia bakal ngajak aku kesini," jawabnya lesu.
Tanpa Rara sadari, ekspresi Gio berubah murung. Gio tampak terganggu dengan perkataan Rara.
"Dingin ya disini..." perkataan Rara mengalihkan Gio dari lamunannya.
Gio berdiri. "Kita balik ke kamar?" tawarnya, dan disambut Rara dengan anggukan.
Rara berdiri dan berjalan menuju ke kamar hotel dengan bergandengan tangan. Tidak ada satupun di antara mereka yang ingin berbicara.
"Aku duluan ke kamar mandi, ya?" tanya Rara saat mereka sudah berada di dalam kamar hotel. Gio mengangguk.
Rara masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri, lalu bergantian dengan Gio.
Saat Gio telah selesai membersihkan diri, Gio menatap tubuh mungil yang berbaring di ranjang, memunggungi Gio.
Gio segera berpakaian dan ikut berbaring disamping Rara. Gio mengelus perut Rara, sehingga Rara menoleh ke arah Gio.
"Kamu capek?" tanya Gio. Rara hanya menggeleng tanpa berkata apa-apa.
"Laper?" Dan Rara menggeleng kembali.
Gio menghela napas berat. "Ngantuk?" Rara juga menggeleng.
Gio melingkarkan tangannya di pinggang Rara. "Tidur, ya?"
Rara menggeleng. "Mas..." panggil Rara, memecah keheningan diantara mereka.
"Hm?" gumam Gio sambil mengelus pelan kepala Rara.
"Aku..." Rara ragu untuk melanjutkan perkataannya, namun ia menghela napas dan melanjutkan perkataannya. "Kamu masih mencintai Mira?"
Rara dapat merasakan tubuh Gio menegang, namun ia menguatkan hatinya. Dia tak pernah menanyakan ini secara langsung, dan sekarang dia takut dengan jawaban yang akan diberikan Gio.
Gio mengecup kepala Rara. "Kenapa kamu nanyanya gitu?" tanyanya.
"Aku mau tau," sahut Rara.
Gio menghela napas berat. "Baiklah. Aku memang belum sepenuhnya move on dari Mira, tapi kamu harus tau kalo aku berusaha untuk mencintai kamu. Kamu mau bantu aku, kan?"
Rara terdiam beberapa saat. Sakit rasanya mendengar jawaban Gio, namun setidaknya ia memiliki sedikit harapan, karena Gio berusaha mencintainya.
"Gimana kalo hubungan kita nggak berhasil?" tanya Rara pelan.
Gio mengelus kepala Rara. "Kamu nggak percaya sama aku?"
Rara menghela napas berat. "Aku..."
Gio membalikkan tubuh Rara agar menghadap kepada dirinya. Gio menatap mata gelap Rara dengan serius. "Aku berjanji, aku akan melupakan perasaanku kepada Mira, karena sejak kita menikah, kamulah satu-satunya wanita yang berhak atas diriku."
Rara mengalihkan tatapannya dari mata Gio. Dia tak ingin berharap banyak hanya karena melihat tatapan Gio. Gio mengelus pipi Rara agar Rara kembali menatap matanya. "Kamu percaya sama aku, kan?" tanya Gio.
Rara terdiam, matanya dan mata Gio bertatapan selama beberapa saat. Akhirnya Rara mengangguk.
Senyum tersungging di wajah tampan Gio, lalu Gio kembali mengecup kepala Rara. "Baiklah, sekarang kamu tidur, ya?"
Rara mengangguk dan memejamkan matanya, dan tak lama kemudian ia tertidur. Sedangkan Gio masih terjaga.
Pembicaraannya dengan Rara saat makan malam dan sebelum Rara tidur membuatnya merasa gelisah.
"Rara? Dika? Mira?" gumamnya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Agreement [1]
RomanceRara, gadis yang baru lulus SMA. Menyetujui untuk menikah dengan Gio untuk menyelamatkan perusahaan ayahnya yang terancam bangkrut. Meskipun Rara tidak begitu mengenal Gio, namun mencintai Gio yang sering bersikap manis kepadanya adalah sesuatu yang...