Gio tersenyum kepada semuanya. "Hai," sapanya.
Ada sepasang suami istri yang sudah tua mendatangi mereka. Gio menyalami keduanya, diikuti oleh Rara.
Di mata kakek dan nenek Gio, Rara adalah gadis sopan dan murah senyum. Mereka tampak menyukai Rara.
Setelah kakek dan nenek Gio menjauh, Carmel dan Ares mendekati mereka. Rara langsung menyalami kedua calon mertuanya.
Carmel tersenyum senang. "Ah, kamu akhirnya dateng juga, Sayang," katanya kepada Rara. Rara membalas perkataan Carmel dengan senyum manis.
"Nikmati aja apa yang ada disini, Rara. Bentar lagi kamu akan jadi bagian dari keluarga ini," kata Ares ramah.
Carmel mengangguk. "Tuh dengerin perkataan papa mertua kamu, Rara sayang."
"Makasih, Om, Tante," balas Rara sopan.
Carmel menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jangan panggil om-tante lagi. Panggil papa-mama. Mama nggak mau denger alasan apapun, Rara," tukas Carmel.
"Mama maksa nih," gerutu Gio.
Carmel melotot. "Suka-suka Mama, dong. Kamu mau kan, Rara?"
Rara tersenyum geli dan mengangguk. "Mau kok, Ma," sahutnya lembut.
"Nah, kami tinggal dulu, ya. Ajak Rara kenalan sama yang lain dong, Gio," kata Carmel kepada Gio.
Gio mengangguk. "Iya, Ma," sahutnya. Kedua orangtuanya pun menjauh.
Gio mengajak Rara berkeliling untuk berkenalan dengan keluarganya. Kebanyakan menyambut Rara dengan ramah. Namun, ada beberapa tante dan sepupu Gio yang memandang aneh ataupun meremehkan kepada Rara.
Setelah selesai berkenalan, Gio dan Rara duduk di gazebo.
"Kayaknya aku nggak pantes buat kamu, ya," ucap Rara pelan.
Telinga Gio rasanya hampir putus karena mendengar kata-kata itu berulang kali.
"Aku nggak suka kalo kamu mulai bahas itu," kata Gio dingin.
Mendengar ucapan Gio, membuat Rara takut. Apakah Gio akan marah lagi kepadanya? Gara-gara masalah sepele ini lagi?
"Banyak sepupu kamu yang cantik, dan aku liat ada beberapa yang terang-terangan nunjukin kalo mereka suka sama kamu," sambung Rara.
"Rara! Udah cukup. Kamu terlalu sering bahas ini!" tukas Gio, yang terdengar seperti bentakan karena suara Gio yang meninggi.
Untung mereka berada ditempat yang agak sepi, sehingga pertengkaran mereka tidak terdengar oleh yang lain.
"Kita menikah cuma karena terpaksa, Mas. Buat apa dipertahanin. Kalo kamu berubah pikiran, kita bisa ngebatalin, kok," ucap Rara lirih.
"Kamu gila?! Kita udah pesen gaun dan jas, undangan, gedung, catering, dan lainnya. Pernikahan kita tinggal 4 minggu lagi. Bisa-bisanya kamu ngomong gitu!
"Kalo kita batal, kita bakal mengalami kerugian, dan orangtuaku bisa jantungan, Rara! Apa kamu mikirin itu sebelum kamu bicara tentang ngebatalin pernikahan kita?!" bentak Gio.
Rara semakin takut dengan Gio, dan merasa menyesal telah memancing amarah Gio. Tanpa Gio sadari, dia telah mencengkram pergelangan tangan kanan Rara terlalu erat.
Rara meringis. Tangannya terasa sangat sakit. "Mas...."
Melihat wajah Rara yang memucat, Gio langsung tersadar, dan langsung melepaskan cengkramannya.
Ternyata pergelangan tangan Rara membiru. Rara merasa agak sulit menggerakkan tangannya. Rara meringis.
"Ayo! Makanan udah siap!" seru seorang wanita, dan semuanya langsung berkumpul di meja makan untuk makan malam.
Gio menghela napas. Ia akhirnya menggamit tangan kiri Rara, membawanya ke meja makan.
"Kamu mau makan apa?" tanya Gio berbisik.
Rara menggeleng. "Aku bisa sendiri," tukasnya dengan suara pelan.
Gio menatap tajam tepat pada mata Rara. "Jangan membantah. Aku yang suapin kamu. Jangan sok kuat, Ra."
Rara menghela napas kasar. "Terserah kamu."
Gio mengambil makanan untuk Rara dan dirinya, lalu makan sambil menyuapi Rara.
Ada berbagai tatapan yang diterima Rara. Ada tatapan menggoda, tatapan iri, tatapan bingung, dan tatapan aneh. Rara hanya menundukkan kepalanya, pura-pura tak tahu.
"Kenapa Rara disuapin?" tanya Aldrin, sepupu Gio yang tampaknya seumuran dengan Ryan.
"Tangan dia lagi sakit. Bahaya kalo dipaksain bergerak," sahut Gio sekenanya. Untung saja Ryan sedang kedalam rumah saat itu. Kalau tidak, mungkin sepupunya yang jenius itu akan curiga.
Yang curiga disitu hanya Ares. Carmel terlalu senang karena melihat kemajuan hubungan keduanya.
Akhirnya mereka selesai makan, dan dilanjutkan dengan acara bincang-bincang.
Gio merangkul Rara dan membawanya kepinggir kolam. Gio mengambil sesuatu dari kantong celananya.
"Maafin aku, Ra. Aku udah kasar. Setelah ini kita ke rumah sakit ya. Takutnya kamu kenapa-napa," kata Gio menyesal.
Rara menggeleng. " Nggak perlu. Aku nggak suka di rumah sakit. Nanti bisa di kompres, kok."
Gio membuka kotak beludru yang ada ditangannya. Isinya adalah cincin sederhana yang dihiasi sebuah berlian kecil. Cincin itu terlihat cantik.
Gio mengambil tangan kiri Rara, dan memasang cincin itu di jari manis Rara. Rara terkejut bukan main.
"Kita bakal nikah sebulan lagi, tapi kita nggak tunangan. Meskipun kita menikah tanpa cinta, setidaknya aku nggak mau semua terjadi apa adanya. Seenggaknya, kita lakuin apa yang orang lain lakuin juga," kata Gio panjang lebar.
Rara merasa tak percaya. Dia akhirnya menangis dipelukan Gio.
Gio panik. "Kenapa nangis?" tanyanya.
"Maaf udah berprasangka buruk sama kamu," isak Rara.
"Udahlah, Ra. Hapus dulu dong air mata kamu. Ntar aku dikira ngehamilin kamu, lho," canda Gio.
Rara tertawa dan menghapus air matanya. Mungkin karena 'tamu bulanan' dia menjadi agak sensitif.
Lalu mereka masuk dan pamit kepada semua keluarga Gio.
Beberapa anggota keluarga Gio menyadari bahwa ada cincin yang baru saja tersemat di jari manis Rara, yang sebelumnya tidak ada.
Carmel dan Ares juga menyadari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Agreement [1]
Storie d'amoreRara, gadis yang baru lulus SMA. Menyetujui untuk menikah dengan Gio untuk menyelamatkan perusahaan ayahnya yang terancam bangkrut. Meskipun Rara tidak begitu mengenal Gio, namun mencintai Gio yang sering bersikap manis kepadanya adalah sesuatu yang...