debaran jantung

20.5K 1.1K 20
                                    

Lagi rajin update
Happy reading
.
.
.
'Ya alloh, mirip bener sama azka' kalimat itu terngiang-ngiang bahkan terrekam kuat di otakku. Aku masih berpikir apakah benar yang di katakan mba rahma kemarin sore.
Mba rahma sempat menanyakan hal itu denganku tapi aku tidak menjawabnya bahkan aku mengalihkan topik pembicaraan. Mba rahma yang mengerti maksudku jadi tidak membahasnya lagi.

Jika benar azka anaknya, cepat atau lambat dia akan mengambilnya dariku. Tidak! Ini tidak bisa kubiarkan!sampai kapanpun azka tetap bersamaku.
Aku menggeleng-ngelengkan kepalaku. Entah kenapa kepalaku terasa berdenyut-denyut.

Klik

Lamunanku buyar ketika melihat azka berdiri di ambang pintu bersama bian. Ketakutan mulai menyerangku. Takut ketika azka akan meninggalkanku.

"BUNDAAAAA......!!!!!!" azka berlari memelukku di atas ranjang. Aku membalas pelukkan nya dengan erat. Aku menoleh mendapati bian tersenyum denganku. Rasanya ingin sekali aku melenyapkan senyumannya. Entah mengapa aku merasa terganggu dengan senyumannya itu.

"Tadi kaka kerumah hobit, bun... Bersama paman bian juga." aku mengalihkan perhatianku ke azka. Aku tersenyum lembut padanya sambil mengelus kepalanya.

Sehabis pulang sekolah bian mengajak azka pergi jalan-jalan, kebetulan aku yang sedang sibuk dengan para pegawaiku akhirnya membiarkan bian dan azka pergi. Aku rasa hanya aku ibu yang tolol.

"Benarkah? Kaka udah ketemu sama om hobitnya?" tanyaku.
"Belum, bun. Kata paman bian om hobitnya lagi liburan, makanya kaka bisa kerumah om hobit. Kata paman bian om hobit itu jahat. Orang-orang cuma berani ke rumahnya kalau mereka sedang liburan."

"Paman bian kenapa berdiri di situ? Ayo kemari! Bunda kaka ngak gigit paman bian kok." bian cuma tersenyum lalu melangkah menuju kami dan duduk di sofa.
"Makasih, karna udah mau ngajak kaka jalan." ucapku. Bian cuma tersenyum.
"Emm,lagipula kaka anak yang sangat manis jadi kurasa tidak apa sesekali mengajak jalan. Ya sudah aku permisi dulu." bian berdiri lalu melangkah kearah pintu kamar.

Sesampai di depan pintu aku membukakan pintu untuknya.
"Besok malam aku akan mengajakmu dan azka makan malam, jadi bersiap-siaplah." ucapnya.
"Tapi-."
"Aku tidak menerima penolakan rana, mau tidak mau kau dan azka akan makan malam bersamaku besok."  aku ingin mengatakan 'tidak" tapi kenapa kepalaku malah mengangguk sih. Menyebalkan.
"Emm,baiklah. Aku tunggu besok malam pukul setengah 8. Selamat malam." bian mengelus pipiku lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauhiku.
Terkejut? Tentu saja aku terkejut. Aku menepuk dadaku. Kenapa rasanya semakin sesak. Aku terduduk di ambang pintu. Tanpa terasa air mataku mengalir deras, aku meringkuk memeluk lututku.

Aku yakin makan malam hanya sebagai alternatifnya untuk mencari perhatian kepada azka. Ya allah apa yang harus ku lakukan?

"Bundaa,,kenapa...?" aku merasa sepasang tangan kecil melingkar memelukku dari belakang. Aku mengangkat kepalaku dan melihat azka yang berkaca-kaca.

"Ngak kenapa-napa ka, bunda cuma tersandung kaki bunda lalu jatuh." kaka melihat kearah kakiku lalu mengulurkan tangannya dan memijat kakiku dengan lembut.
"Udah baikan bun?" tanyanya. " kalau kaka yang mijatin sih, kaki bunda cepat baikan."

***

Bian POV.

Rana.
Entah kenapa aku nama itu sering terngiang-ngiang di pikiranku. Melihat wajahnya yang memerah membuat ku ingin sekali membelainya. Padahal sekarang aku sudah menjalin hubungan dengan seseorang bertahun-tahun tapi debaran ini!! Baru kali ini aku merasakannya dan ini karna satu orang. KIRANA.

Aku sudah siap dengan jas yang menempel di tubuhku. Malam ini aku akan makan malam bersama rana dan anakku.

Kring kring

Aku meraih ponselku di saku aku melihat nama audy di layar ponselku. Dia wanita yang sekarang menjadi kekasihku aku mengeser ke warna hijau dan menempelkannya ke telingaku

"....."

" ada apa?"

"...."

"Maaf tapi aku sedang sibuk."

"...."

"Emm,ya sudah."

Aku mematikan ponselku lalu meraih kunci mobilku dan berjalan menuju bagasi. Aku memilih mobil sportku yang berwarna merah. akumasuk ke dalam mobilku lalu melajukannya ke rumah rana. Aku jadi tidak sabar untuk bertemu dengannya dan anakku.

***

Kriiittt krittt
Aku menekan bel pintu rumah rana selang beberapa lama tampak wanita paruh baya yang membukakan pintunya.

"Rana ada di rumah?" tanyaku.
"Maaf tuan sepertinya non rana sedang tidak enak badan. Sedari tadi non rana cuma tertidur di kamarnya bersama tuan muda azka." aku menorobos masuk dan menaiki tangga ke lantai dua.

Aku membuka pintu kamarnya dekat perlahan. Kulihat azka sedang duduk di atas ranjang sambil memainkan ponselnya sedangkan ia sendiri terbaring dengan meletakkan tangannya di depan keningnya.

Ia menoleh  menatapku dengan heran lain halnya dengan azka yang langsung berlari memelukku.
"Paman kesini? Bunda sedang sakit jadi kaka nemenin bunda." aku mengelus kepala azka lalu berjalan menghampirinya.

Aku mendekatinya yang sedang berusaha duduk di ranjang. Aku memegang bahunya, membantunya duduk.
"Kenapa tidak bilang kalau kau sedang sakit? Sudah minum obat?" tanyaku. Ia mengangguk. "Sudah. Sebentar lagi juga sembuh kok."

Aku mengelus pipinya dengan lembut, ia hanya menundukkan kepalanya menyembunyikan wajahnya yang memerah. Aku meraih dagunya menatap maniknya dengan lekat. Wajah kami semakin dekat, aku memiringkan kepalaku, kulihat dia memejamkan matanya.

"Bunda sama paman bian ngapain? Kok bunda merem gitu?" rana langsung membuka matanya dan mendorongku dengan pelan. Anggaplah aku sekarang gila karna menginginkan ibu yang merawat anakku.

"Bunda tadi kemasukan debu jadi om bian nolongin niupin." aku dapat melihat kegugupannya saat memjawab pertanyaan dari azka.
"Eemm,gitu? Lalu kenapa bunda merem tadi?" azka tampak berpikir. Rana tampak gegelapan ingin menjawabnya.

"Mungkin bunda nahan sakit di matanya makanya bunda merem." aku mengusap pelan rambut azka. Azka hanya membulatkan mulutnya.

***

Malam semakin larut, aku pamit pulang dengan rana lalu kembali ke mobilku. Sepanjang perjalanan aku masih memikirkan rana. Selama aku  berada di kamarnya aku hanya bermain dengan azka sedang rana hanya melihatku bermain dengan anakku.

Senyum tak pernah pudar dari wajah. Aku melajukan mobilku ke rumahku. Begitu sampai di rumah aku memasuki rumahku. Aku tersentak melihat kedua orang tuaku sedang duduk di sofa. Aku berjalan menghampiri mereka lalu duduk di depan mereka. Ibuku menatapku tajam berbanding terbalik dengan ayahku yang menatapku dengan pandangan yang sulit aku mengerti.

"Jadi hasil hubungan kau dengan jalang itu membuahkan hasil?" tanya ibuku dengan nada sinis.
"Maksud mommy?" tanyaku.
"Jangan belagak bodoh bian, mommy tahu kau memiliki anak dari hubunganmu dengan jalangmu itu." ah, inilah ibuku selalu to the point.

"Lalu?" aku megangkat sebelah alisku. Ibu tampak geram dan mengebrak meja. "Lalu katamu? Kau memisahkan aku dengan cucuku bian, apa kau bodoh, hah?" inilah ibuku. Sepertinya ibuku sangat menyukai azka. Sepertinya ayahku sudah memberitahu semua informasi yang ia dapatkan kepada ibuku.

"Mommy ngak mau tahu, pokoknya bawa azka ke mommy secepatnya. Kalau kau tidak bisa biar mommy yang turun tangan."
"Mommy ngak usah khawatir bian bisa sendiri menbawa azka, mom." ucapku serius. Cepat atau lambat azka harus tahu kalau aku ayahnya dan membawanya bersamaku.

"Baguslah." ibu berjalan menuju kerah pintu keluar. Aku mengusap pangkal hidungku.
"Kau harus berhati-hati nak, sepertinya ibunya azka sangat menyayanginya seperti anaknya sendiri. Jangan sakiti perasaannya nak." ucap ayahku lalu menyusul ibuku.

Sekarang yang aku pikirkan adalah kirana. Bagaimana caranya memberitahunya, aku yakin rana pasti kekeh mempertahankan azka. Aku mengusap wajahku dengan kasar dan membuka jas.
Rana???.
.
.
.
.
.
.
END
.
.
Kritik dan saran.

Dia Anakku  (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang