Part 1 - Bukankah menunggu itu menyakitkan?

14.6K 522 1
                                    

Jika menunggu itu menyakitkan, berjanjilah padaku untuk tidak menunggu
-Ahmad Fatih-

"Dzif?"
"Dzifaaaa" teriak Asha memecah lamunanku. Ah, hobi ganggu banget sih ni anak.
"Iya Sha, ada apa? Ngga usah teriak di telingaku juga kali. Kalau gendang telingaku pecah, kamu mau tanggung jawab?" sewotku yang kemudian membuat dia mengerucutkan bibirnya persis seperti ikan yang biasa bunda masak untukku. Mengingat masakan bunda membuat cacing-cacing diperutku ini bergoyang. Eh, tunggu.... Kemana basoku?
"Ashaaaaaaa... menyebalkan kau yaa, kamu kan sudah habis 2 mangkuk. Kenapa punyaku dimakan juga"
"Yaa maaf Dzif, daripada ngga dimakan. Kan mubadzir. Allah kan ngga suka sama orang yang buang-buang makanan."
"Hmm.. Yaudah ayo balik ke kantor" aku pun beranjak pergi diikuti Asha yang kini sedang menggandeng tanganku.
"Maaf ya, Dzif. Atau kamu mau aku beliin makanan gitu?" Mohonnya padaku.

Ah, sahabatku ini selalu saja merasa bersalah hanya karena masalah sepele. Hidungnya yang mulai memerah membuatku ingin mencubitnya.
"Ngga usah, Sha. Lagian aku juga lagi ngga nafsu makan"
"Ada apa, Dzif? Lagi ada masalah ya?"
"Ngga ada apa-apa, Sha. Mungkin karena kecapean aja."
"Kalau ada apa-apa cerita ya, Dzif. Jangan dipendam sendiri. Kan kita sahabat." ucapnya tersenyum padaku. Aku hanya menganggukan kepala tanda setuju.

^Flashback on

"Aku ingin berbicara sesuatu padamu." ucap seseorang kepadaku. Kini, aku sedang duduk di taman kampus bersama dengan seseorang yang membuat perasaanku tak karuan seketika.
"Ada apa, Fatih?" tanyaku heran. Dia pun menghembuskan nafas kasar. Ada raut cemas dan penyesalan yang aku lihat di wajah teduhnya.
"Apa ada masalah serius? Katakanlah Fatih." tambahku lagi. Karena sampai saat ini dia masih terus tertunduk diam. Ada apa sebenarnya? Apa yang membuat dia cemas seperti itu?
"Bismillah, setelah wisuda-"
"Aku akan bekerja di salah satu perusahaan di Jeddah"

Dan aku? Apa yang bisa aku katakan? Tidak, tidak ada yang bisa aku katakan. Aku hanya bisa terdiam. Mencoba mencerna perkataannya tadi.

Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? batinku.

Tak mungkin untukku mencegahnya untuk pergi. Tapi, aku juga tak bisa berdusta. Aku sangat takut jauh dengannya. Tak terasa butiran kristal ini meluncur begitu saja. Segera aku tundukkan kepalaku, berharap Fatih tak pernah melihatnya.

"Tak perlu bersedih, setialah semampumu. Jika ada yang lebih baik dariku. Menikahlah dengan dia." ucapnya kemudian pergi meninggalkanku.

Berada di taman sendiri membuat tangisku semakin menjadi-jadi. Butiran kristal ini pun dengan leluasa membasahi kedua pipiku.

"Dzifa, kamu nangis?" mendengar seseorang memanggil namaku, dengan segera aku menghapus air mataku.
"Dzifa, ada apa?"
"Ada aku disini, Sha" aku pun terkekeh mencoba bercanda seperti biasanya.
"Serius, Dzif. Kamu kenapa? Siapa yang bikin kamu nangis?"

Inilah sahabatku, siap menginterogasi. Jika melihatku menangis atau bersedih. Yang kadang membuatku ingin melemparinya kulit durian. Karena aku bukan orang yang bisa mengekspresikan perasaanku lewat kata-kata.

"Ngga ada apa-apa, Sha"
"Cerita sama aku, Dzif. Jangan bohong"
"Ada masalah yang ngga bisa aku ceritain sekarang. Mungkin nanti kalau sudah waktunya. Aku akan cerita. Aku pengen nenangin diri dulu, Sha. Maaf ya, aku pulang duluan. Assalamu'alaikum." Kataku beranjak pergi.

Antara Aku, Kau dan QabiltuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang