Prologue

5.6K 204 5
                                    

Hii guys...
Akhirnya keinginan buat bikin cerita ala-ala fantasi tercapai juga, hehe...😂 Maklum gue masih amatiran masalah bikin cerita genre fantasi.
So, happy reading guys...😘

.
.
.
Hari yang melelahkan bagi Hailee berkemas untuk keperluan sekolahnya yang akan ia datangi 2 hari lagi. Direbahkan tubuhnya diatas ranjang sambil memikirkan apa yang akan ia lakukan saat tiba di sekolahnya. Bukan hal sulit bagi Hailee untuk mencari teman, hanya saja ia cenderung cuek.

"Huuft, hari yang melelahkan. Kenapa aku harus dikirim ke sekolah itu? Kenapa tidak sekolah disekitar sini saja? Memangnya aku ini penyihir ala-ala Harry Potter? Aneh sekali orang tuaku." Gumam Hailee di dalam kamar. Ia tidak tahu apa tujuan dari orang tuanya menyuruhnya masuk ke Rtuvina Academy. Yang jelas menurut ibu dan ayahnya, Hailee akan aman disana.

Tapi entah kenapa Hailee suka sekali membaca buku tentang sihir yang diberikan ayahnya. Sudah puluhan buku yang ia baca bahkan ayahnya menyuruhnya untuk menghafalkan mantra-mantra sihir yang katanya itu akan mempermudah dalam mempelajari ilmu sihir di sekolahnya nanti. Kalau boleh dibilang ini cukup menarik, padahal sebelumnya Hailee belum pernah mendengar ilmu sihir. So, terlihat mustahil bagi beberapa orang termasuk Hailee.

"Hailee... Ayo turun, kita makan malam dulu." Panggil ibu Hailee dari dapur. Hailee segera beranjak turun ke bawah menuju ke ruang makan.

***

"Hailee apa kau sudah siapkan semua kebutuhanmu? Dad harap kau tidak membawa barang-barang pribadimu yang terlalu banyak itu." Ujar ayah Hailee saat selesai makan malam. Mereka masih berada di meja makan.

"Sudah Dad, semua sudah siap, paling yang tidak boleh ketinggalan kacamata sama softlens." Ayahnya mengernyit. Memang ada yang salah dengan membawa kacamata dan softlens? Entahlah.

"Kau masih membawa barang-barang seperti itu? Hailee dengarkan Dad. Kamu tidak perlu bawa barang seperti itu lagi sekarang. Mau sampai kapan kamu menutupi itu dari semua orang? Cepat atau lambat semua pasti akan tau." Ujar ayah Hailee lagi. Entah apa yang orang tuanya inginkan. Dulu sewaktu kecil ia disuruh memakai kacamata hitam atau softlens dan tidak diperbolehkan melepasnya, kecuali saat ia berada di kamar untuk tidur atau mandi. Sekarang! Mereka justru menyuruhnya untuk melepaskan benda yang sudah terlalu nyaman dipakai Hailee sampai-sampai ia tidak ingin melepasnya. Sebenarnya apa yang mereka inginkan?

"Aku tau itu. Tapi Hailee sudah terlalu nyaman dengan penampilan seperti ini. Jadi jangan paksa Hailee buat lepasin ini semua." Jawab Hailee jujur.

"Hailee yang dikatakan Dad-mu benar. Jadi Mom harap kamu akan memberitahukan hal ini pada saat kamu sampai di Rtuvina Academy." Hailee diam tak menjawab. Hanya mengangguk sebagai tanda ia akan memberitahukan kepada semua orang agar tidak mempertanyakan masalah ini terus-menerus.

Jujur saja Hailee tidak terlalu yakin akan memberitahukan hal ini kepada semua orang, ia terlalu khawatir dengan pendapat orang lain mengenai dirinya. Entahlah, ia terlalu pusing dengan semua yang terjadi pada dirinya. Mulai dari kacamata hitam dan softlens-nya, dikirim ke Rtuvina Academy karena dapat surat undangan dari sana, mempelajari sihir, bahkan pernah bertemu dengan penyihir jahat-Rudolf yang datang entah dari mana. Entah akan ada kejadian apalagi yang sudah menantinya. Hailee pun memutuskan untuk pergi ke tempat tidurnya untuk istirahat.

"Ms. Anderson, aku punya satu pertanyaan yang harus kau jawab sebelum kristal seleksi menentukan asramamu." Pintah seorang lelaki tua yang mungkin sudah berumur 70 tahunan. Hailee memperhatikan lelaki itu sebentar. "Kenapa kau selalu memakai kacamata hitam?" Lanjut lelaki tua itu yang kini memancing semua orang menatap mereka berdua dengan keingintahuan yang tinggi. Kalau boleh jujur Hailee benci jadi pusat perhatian. Ia berdecak kesal.

"Karena ini hobi saya. Bukan, lebih tepatnya kebutuhan saya dan saya menyukai penampilan seperti ini." Jawab Hailee asal. Yang benar saja ia akan menjawab dengan jujur, tapi kenyataannya memang begitu dan tidak bisa dipungkiri. Lelaki tua itu berdehem, matanya masih fokus menatap tajam ke arah Hailee. Sungguh suasana yang canggung.

"Saya ingat bahwa Mr. dan Ms. Anderson sudah memberitahu pihak sekolah bahwa kau akan berterus terang." Hailee terdiam sesaat. Kini pikirannya melayang entah kemana, mencari jawaban yang tepat untuk dilontarkan, namun sayang ia tak punya pilihan lain, keputusan terakhir ia harus menjawab sesuai dengan kenyataannya.

"Baiklah jika orang tuaku memaksa dengan cara seperti ini." Perlahan-lahan Hailee membuka kacamatanya, ia memejamkan matanya sebelum semua orang melihatnya.

Tepat saat kacamata Hailee lepas dari telinganya, ia masih memejamkan matanya. Terdengar samar-samar suara bisikan dari beberapa penjuru ruangan. Tunggu! Suara apa itu? Hailee menajamkan pendengarannya.

"Ms. Anderson aku akan menjemputmu." Suara itu begitu jelas ditelinganya. Ia memakai lagi kacamatanya dan bangkit dari duduknya. Sekarang semua orang terkejut dengan reaksi Hailee.

Hailee menjadi pusat perhatian namun ia tak memperdulikannya. Dikeluarkannya tongkat sihir dari balik jubahnya dan berlari turun dari podium. Semua semakin terkejut saat Hailee merampalkan mantra ke arah pintu utama.

"Accious!!" Ledakan terdengar bersamaan dengan menjeblaknya pintu itu lebar-lebar. Terlihat seseorang memegang dadanya dan berjalan gontai masuk ke dalam aula utama.

Suara riuh terdengar memenuhi aula. Semua berteriak melihat kegaduhan yang terjadi dan berlarian menuju belakang aula untuk berlindung. Tiba-tiba mereka berhenti bergerak.

Apa yang terjadi?

Rudolf tertawa keras, ia menatap Hailee sinis. Ternyata Rudolf memberikan mantra penghenti waktu walau mereka masih bisa bernafas dan melihat keadaan sekitar tapi mereka tidak bisa bergerak bagai patung bernyawa. Sekarang siapa yang akan membantunya?

"Rudolf..." Gumam Hailee saat mendapati penyihir sialan itu. Dengan cepat Hailee melancarkan serangannya.

"Sudah ku bilang kalau aku akan menjemputmu princess." Ucap Rudolf dengan menekankan kata princess. Ia tidak tinggal diam dan meluncurkan serangan kepada Hailee.

Sial! Hailee terlalu mudah untuk dikalahkan oleh penyihir bibir monyong seperti Rudolf karena ia masih murid tahun pertama yang belum menguasai ilmu sihir. Hailee merasa lehernya tercekik saat Rudolf menyerangnya dengan sihir yang ia berikan. Semakin lama cekikikan itu semakin kuat bahkan Hailee sudah tidak bisa merasakan tubuhnya menyentuh lantai. Rudolf mengangkat tubuh Hailee hingga mencapai ketinggian beberapa meter dari lantai. Paru-parunya semakin menyempit karena pasokan oksigen yang Hailee hirup terasa berat karena cekikikan dari penyihir biadab itu. Leher Hailee memanas seperti terbakar dan tubuhnya bergetar hebat, ia menjerit kesakitan...

"Aahhhh...." Hailee berteriak histeris dengan nafas terengah-engah, ia bangun dari tidurnya. Dengan reflek ia memegang leher jenjangnya yang terasa panas. Keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya. Ternyata hanya mimpi, tapi kenapa terasa begitu nyata. Apa yang sebenarnya terjadi?!
.
.
TBC
.
.
.
Huaaaa😁 gimana ceritanya? Kurang menantang? Maaf dahh, namanya juga pemula😅 tapi gue harap kalian suka dengan cerita ini.

Thx buat para readers yang udah baca😘 jangan lupa vomment-nya ditunggu... Menunggu dan tunggu sampai lelah😂

#9-06-2017

Rainbow Eyes [ON-HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang