Titik embun yang berada pada gelas minuman es mulai menetes satu persatu. Seakan embun pagi yang bertasbih menyambut terbitnya mentari.
Umi Sarah terlihat gelisah sambil berjalan mondar-mandir. Begitupun dengan yang lain. Fahad duduk diam di kursi paling dekat dengan Abahnya. Maria duduk dikursi tunggal sambil terus menundukkan kepalanya takut. Tidak biasanya Abah memanggil dengan begitu serius seluruh anggota keluarga. Rasanya ada yang sangat penting hingga semua jadwal untuk hari ini harus ditunda demi pertemuan ini.
Ruang tamu terasa begitu tegang. Hanya helaan napas yang terdengar menyelimuti kedinginan hati. Semua makin merasa tegang. Padahal Kiai Zainal Abidin terlihat biasa-biasa saja. Bahkan dengan santainya memakan buah kurma yang telah disediakan di meja.
"Fahad, Maria..sebenarnya Abah cuma ingin bicara sedikit.."
Bu Nyai Sarah semakin gelisah.
"Abah sudah mempertimbangkan ini dengan Ummi."
Semuanya diam menunggu Abah melanjutkan berbicara.
"Abah mau bicara apa? Aku dan Bang Fahad sudah kepo nih bah," Maria akhirnya buka suara.
Abahnya tersenyum. Bu Nyai Sarah mulai agak tenang.
"Sayang, Abah ingin memasukkanmu ke Pondok Pesantren tempat teman Abah di Yaman."
"Dan Abah ingin kamu memakai niqab ketika hari pertama kamu mondok." Abah melanjutkan bicaranya dengan sangat hati-hati.
Fahad meraih tangan adiknya. Meremasnya, memberi kekuatan.
"Senang dong, punya teman baru. Kamu juga biar tambah pengalaman." Katanya lembut.
Dalam hati Fahad sebenarnya sangat perih. Jauh lebih perih dari yang dirasakan adiknya.
"Abah sudah menghubungi pesantren teman Abah. Disana ada bimbingan menjadi penghafal Al-Qur'an seperti yang kamu inginkan putriku."
Semua diam. Bu Nyai Sarah terlihat menahan air matanya.
"Jika Abah, Ummi, dan Bang Fahad ridha, insya allah Maria ikhlas." Maria berusaha tersenyum menyembunyikan kepedihan yang ia rasakan saat ini.
"Sebenarnya Abah juga berat. Tapi sepertinya memang ini jalannya. Kita ambil baiknya saja. Insya Allah ini baik untuk kamu nak."
Delapan pasang mata kini berusaha membendung agar bah air mata tak keluar begitu saja. Meski harus mengorbankan hidung yang berubah merah.
"Kita coba ya, Nak," Bu Nyai sudah tak bisa membendung lagi.
Spontan Maria langsung memeluk Umminya sambil terisak di bahu Ummi tercintanya.
Kini semua air mata keluar. Terharu juga melihat pemandangan itu. Belahan jiwa yang sejak lahir selalu patuh terhadap Umminya.
Abahnya kembali bersikap santai.
"Maria, segerahlah kamu bersiap-siap, karena minggu depan Abah akan mengantarkan kamu ke pesantren."
Maria tidak bisa memilih karena sudah menjadi keputusan dari Abahnya yang ia percayai.
"Tapi selain itu ada berita gembira."
"Berita gembira?" Kening Maria berkerut menjadi beberapa lipatan.
"Setelah Maria menjadi seorang Hafidza atau penghafal Al-Qur'an, Abah ingin memberangkatkan kalian semua umrah."
Ada sesungging senyum bahagia.
***
Maria menyiapkan barang-barang yang akan di bawah ke pondok pesantren dengan sangat teliti.
Sementara Bu Nyai sarah sibuk membeli beberapa gamis, khimar, dan niqab untuk putrinya bawah ke pesantren barunya.
Gamis indah yang terpasang cantik dimanekin butik yang ia lewati. Langkah Bu Nyai Sarah berhenti menatap lekat gamis itu. Ia membayangkan alangkah cantik jika putrinya yang memakai gamis itu.
Bu Nyai Sarah tidak berniat membeli gamis itu, karena gamis yang tadi ia beli di Mall cukup banyak bahkan terkesan berlebihan. Bu Nyai terus berjalan pulang sambil menyenandungkan sholawat Nariyah.
***
Satu minggu kemudian....
Maria beserta keluarga kini tengah duduk di bandara. Sebenarnya ia sangat berat meninggalkan keluarga kecil bahagianya itu. Tapi, ia juga bercita-cita menjadi seorang penghafal Al-Qur'an seperti Abangnya. Maria meminta kepada Allah untuk diikhlaskan hatinya. Ia terus berdzikir dalam hati sambil berdoa.
"Nak masuklah ke dalam, karena pesawatnya akan segera terbang."
"Baik Bah," ucapnya sendu.
Bu Nyai sarah memeluk putrinya sambil terisak. Sedangkan Fahad hanya tertunduk sedih melihat adiknya yang akan segera pergi meninggalkannya.
"Abang, Maria sayang sama bang Fahad. Jagain Ummi sama Abah ya bang," Maria menangis sambil menatap mata kakaknya yang sembab.
"Pasti dek, pasti. Abang akan jaga mereka seperti kau menjaga Ummi dan Abah dulu."
Fahad mencium kening adiknya dengan tulus. Memeluknya untuk yang terakhir kalinya.
"Dek, nanti kamu disana jaga makan yah, jangan lupa kirim E-mail yah dek." Fahad tersenyum sambil menyeka air mata yang terus mengalir di pipi sang Adik.
"Abang juga yah."
"Udah kamu masuk sana gih, nanti ketinggalan pesawat loh."
"Iya-iya bang, nggak usah ngusir gitu napa bang, ntar kangen Maria loh."
"Idih...Ge-er kamu dek, justru yang akan paling kangen sama kamu adalah Abah," sambil melirik Abahnya.
Maria langsung memeluk Abahnya dengan penuh kasih sayang. Ia pasti akan sangat nerindukan Abahnya.
"Udah nak, jangan nangis lagi."
"Maria bakal kangen kalian semua, doain Maria sukses agar bisa membahagiakan kalian. Maria sayang Abah, Ummi, dan Bang Fahad. Assalamualaikum, Maria berangkat."
"Waalaikumsalam." Jawab mereka serempak.
Maria berjalan memasuki pesawat dengan langkah berat. Ia duduk dekat jendela. Berat rasanya untuk meninggalkan keluarganya.
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggapai Surga Bersamamu (ON GOING)
SpiritualRomance - Spiritual Kisah tentang apa itu makna kesabaran yang sebenarnya. Seorang puteri dari kiai. Siti Maryam wanita yang hampir sempurna. Banyak ikhwan yang ingin mengkhitbah Maria. Maria dengan ketaqwaannya menyerahkan segala hidupnya kepada A...