(Bagian Satu)

3.7K 147 2
                                    

Riuh santri di dalam mushalla yang rangkap fungsi menjadi ruang kelas lima madarasah diniyah itu bagaikan irama khas yang menjadi ciri pesantren.

Santriwan mengangkat bangku-bangku setinggi betis dan menatanya untuk mengaji malam ini. Mereka bekerja bersama. Berebut mencari barokah. Itulah bedanya pesantren dengan lembaga lain.

Kelas sudah tertata rapi. Tabir pembelah tempat putra dan putri dipasang. Kini tinggal menunggu ustadz Fahad, putra dari kiai pendiri pondok pesantren.

Setengah jam kemudian. Semua santri sudah memenuhi mushala. Baik santriwan atau santriwati.

Ustadz Fahad datang.

Selang beberapa detik di belakangnya ada Maria berjalan memasuki mushala. Maria mengenakan gamis berwarna peach dengan dipadu khimar hitam yang menutupi dadanya.

Para santriwan terus mamandangi Maria. Karena jarang ada kesempatan untuk melihat putri kiai mereka itu dengan puas.

Kini, para santriwan sudah meluruskan wajahnya ke arah kitab Ta'limul Muta'allim karya syeikh Imam Azzarnuji.

"Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh," Ustadz Fahad mengucapkan salam dengan fasih.

Semua santri menjawab salam dengan serentak.

"Sampai mana kitabnya?"

"Syair Muhammad bin Hasan bin Abdullah, diulangi. Aku masih belum faham," Maria nyeletuk dengan kepala sedikit tertunduk.
Fahad tersenyum samar melihat adik semata wayangnya mulai memberanikan diri untuk bertanya di depan umum.

"Ya, silakan dibuka."

Mereka semua membuka bab keutamaan ilmu fiqh bagian syair Muhammad bin Hasan bin Abdullah yang sebenarnya sudah dikitabkan dalam kitab 'alala'. "Kita baca dulu syairnya yah."

Mengalun dengan merdu. Nadhoman itu bagaikan senandung rindu para santri yang haus akan ilmu.

***

" Antudzkhilanii rabbill jannah haada 'aqsho maa 'atamannah...

Antudzkhilanii rabbill jannah haada 'aqsho maa 'atamannah..

Watahabanaaddarajaatil 'ulya
Yaa dzal minnah ya rabbi..."

Suara merdu Maria membius para santri. Membuainya dalam lautan tenang. Karena lengkingannya dimasukkan corong speaker, otomatis suaranya akan menyebar ke seluruh penjuru pesantren.

Wajah Maria yang cantik kelihatan memerah saking semangatnya menyanyi dan itu membuatnya semakin mempesona.

Shalawat terus terdengar. Di satu titik, salah satu santri terus mengamati wajah ayu ningnya itu. Ia malah terpikat oleh Maria.

***

Sampai di ndalem, Maria langsung merebahkan punggungnya di atas sofa empuk tempat uminya membaca buku.

"Umi,"

"Apa toh nduk?"

"Banyak yang benci sama aku um."

"Apa-apaan sih? Kamu kok ngomong gitu toh nduk? Semua sayang kamu kok!"

"Santri-santri itu takut sama aku um, bukan hormat kayak sama bang Fahad."

"Kamu dipandang sebagai Ning, kalo abangmu mereka pandang sebagai ustadz dan gus. Pantas saja mereka hormat sama abangmu."

Maria tersenyum mengerti mendengar penjelasan dari uminya.

***

Malam gelap yang sunyi.

Santriwati yang suka begadang malam masih dalam kegiatan mereka.kebanyakan dari mereka adalah santri yang hanya nyantri tanpa sekolah. Sehingga tak di kejar-kejar kesibukan pagi. Mereka suka ngerumpi sambil ngerujak. Atau memasak makanan untuk dimakan bersama.

Kali ini mereka membuat nasi goreng mawut.

"Busyet...Ning Maria cantik dan anggun yah, apalagi suaranya sangat merdu." Anisa membuka pembicaraan sambil mengupas bawang putih.

"Mending Gus Fahad deh, udah shalih, seorang penghafal al-Qur'an, cakep lagi." Kali ini Farah yang menimpali.

"Yeee..kalau Gus Fahad aja kamu semangat, ingat dosa tau. Orang bukan mahram juga."

Anisa mendorong tubuh Farah. Farah tersenyum masam. Kedua santri yang sangat manis di pondok pesantren.

Najwa datang dengan nasi satu baskom yang menjadi jatah bagi lima orang. Dirinya, Anisa, Farah, Najwa dan satu lagi Aisyah yang sedang tidur.

" Denger-denger, mau dipondokkan di pesantren lain?"

"Siapa?"

"Ning Maria."

"Nggak kaget."

"Gus fahad gimana kabarnya ya?"

"Huuuuuu!!!!"

Mereka kompak menjitak kepala Farah dengan gemas.

To be continue

Menggapai Surga Bersamamu (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang