(Bagian Empat)

2.1K 115 1
                                    

Kumandang adzan menggema diseluruh penjuru podok pesantren. Maria dan sahabatnya segera bergantian untuk mengambil air wudhu' sebelum menghadap ke sang khaliq. Sudah menjadi rutinitas baginya yang harus rela mengantri kamar mandi.

Pernah suatu saat ia kesiangan untuk menunaikan sholat subuh dan dengan terpaksa ia harus mengqada' sholatnya.

" Maria buruan, jangan ngelamun terus." Celoteh Bihan salah satu teman Maria.

" eh-iya Bi, maaf," ucap Maria dengan sedikit nyengir.

Bihan yang tadinya dongkol, berubah ceria dengan hanya melihat senyuman dari wanita yang berada di hadapannya itu. Selain cantik, senyum Maria juga mampu membius seluruh akhwat dan ikhwan yang tidak sengaja berpapasan dengannya. Banyak dari mereka yang terkena diabetes gara-gara melihat senyum ala-ala Maria.
Tapi itu dulu, sebelum maria memutuskan untuk bersumpah menggunakan cadar

" Bihan, nanti temenin maria ke ndalem yah,"

" okelah plend, apasih yang gak buat Mariaku tayang." Jawab Bihan sambil menaik turunkan alisnya dengan nakal.

" apasih bihaannn, emeshh deh."

" biarin weeeeee."

"Au ah, bihan mah gitu." Maria pura-pura sedih.

"Ah Maria jangan sedih dong, aku kan becanda."

"Aku juga becanda, wleeee!!! Sekarang satu sama."

"Iiiiihhhh Maria, awas aja kamu yah."

Maria tersenyum lebar melihat tingkah Bihan yang menurutnya masih seperti anak sd yang sedikit manja. Tapi ia suka dengan sifat Bihan yang kadang selalu membuatnya tersenyum melupakan kesedihannya selama di pondok pesantren. 

                     ****
"Bihan, tau cadar Maria nggak?" Tanya Maria dengan sedikit panik.

"Cadar yang warna apa? Kamu kan punya banyak cadar di lemari asrama," jawab Bihan santai.

"ihhh Bihan ngeselin, kan maria hari ini pakai gamis warna biru muda, tapi set cadarnya nggak ada."

"Yaelah, pakek yang warna hitam aja kali Ri, cantiknya gak bakal ilang kok."

"Maria serius Bihan, bantuin nyariin kek."

"Hehehehe iya iya iya dengan berat hati aku bantuin deh."

"Bihaannnnn, yang ikhlas dong."

Bihan hanya cengengesan melihat wajah Maria yang cemberut. Apapun ekspresi yang Maria tunjukan selalu cantik dan menggemaskan.

Bola menggelinding dengan lincahnya. Membelah simetri lapangan rumput yang mengering. Ada warna putih sebagai warna dasar dan titik-titik hitam sebagai pelangkap. Bagaikan roda kehidupan yang terus berputar. Kadang harus menempuh bagian hitam, pengindah kehidupan, kadang putih. Alangkah jeleknya jika warna kehidupan yang ini hanya putih. Karena putih itu hanya akan bermakna Jika telah di sandingkan  dengan hitam. Bagian putih yang mendominasi karena memang Allah menjajikan setelah kesulitan selalu ada kemudahan.

Maria yang tengah berlari tidak sengaja menendang bola tersebut. Sang Empunya mendelik kesal dengan gadis bercadar yang tadi menendang bolanya tersebut. Dalam hati ia mengumpat atas perbuatannya itu. Sedangkan Maria terus berlari tanpa memperdulikan bola yang tadi ia tendang. Sekarang yang ia pikirkan supaya cepat sampai di ndalem sebelum ia habis di ceramah i gurunya.

Sampai di ndalem yang disusul oleh Bihan, Maria sangat gelisah, karena tidak biasanya gurunya itu memanggil dirinya.
Ia berulang kali meremas ujung gamisnya. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Sesekalai ia beristighfar takut jika ia dimarahi oleh gurunya karena ia terlambat.

"Assalamualaikum Maria, Bihan." Ucap kyai Dahlan dengan senyum tipis yang memperlihatkan gigi gingsulnya.
"Waalaikumsalam kyai," jawab mereka kompak dengan sedikit tersenyum kikuk.

"Baiklah, karena kyai sebentar lagi ada urusan, langsung saja yah. Begini Maria, sebentar lagi putra sulung saya Alif akan segera kembali dari Mesir. Ia telah memberi pesan kepada saya supaya mencarikan calon istri yang shalihah. Dan saya ingin kamu bersedia untuk menjadi calon dari putra saya, karena saya percaya kepadamu nak."

Maria terkejut bukan main mendengar penuturan dari kyainya. Ia menelan salivanya yang kering dengan susah payah. Pasokan oksigen di ruangan mewah ini tiba-tiba menghilang.
Ia bingung harus memberikan jawaban apa kepada kyainya itu.

"Maaf kyai, Maria bukannya menolak, tapi apakah Maria pantas bersanding dengan kak Alif. Dan sedangkan Maria sendiri hanya memiliki pengetahuan ilmu agama yang sangat minim sekali," jawab Maria sambil menunduk.

"Nak, di dunia ini tidak ada yang sempurna, baik kamu maupun Alif sama-sama memiliki kekurangan. Saya tidak memaksamu nak, istikharahlah dan minta petunjuk dariNya nak."

Bihan yang sedari tadi hanya menjadi penyimak pembicaraan antara kyainya dan sahabatnya ikut terisak pelan. Bayangan Alif seketika kembali. Ia mencintai Alif dalam diam. Dan sampai saat ini perasaannya pun masih tersimpan rapi di hatinya.

"Insya Allah kyai, baiklah Maria dan bihan kembali ke asrama dulu. Assalamualaikum."

Setelah mengucapkan salam maria berlari sambil menangis terisak. Bihan hanya mengikuti sambil menyembunyikan kesedihannya. Ia akan berusaha tegar dan ikhlas jika memang alif bukan jodohnya. Sekarang yang terpenting adalah menenangkan sahabatnya dan menjadi pendengar yang baik untuk Maria.

To be continue

.
.
.
.
.
.
.
Assalamualaikum semua, maaf baru up hari ini, soalnya sibuk banget. Sok sibuk loh :-D gak lah yah, aku emang sibuk kok sama tugas-tugas yang dari tahun kemarin gak pernah berhenti ngalir terus di buku gue. Tetep setia menikmati MSB yah walaupun masih banyak typo, jarang update. Jangan lupa votenya biar author kecenya ini mangatse nulis.
Kaburrr aahh.....  bye-bye ;-)

Menggapai Surga Bersamamu (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang