Sudah dua bulan Zidney menduduki masa putih abu-abu. Tanpa kebahagiaan, tanpa teman, apalagi pasangan. Setiap hari, matanya hanya menangkap sosok anak-anak bandel berotak bebal.
Ya setidaknya, itu hanya pemikiran Zidney.
"Hot news, hot news! Ternyata, Luna udah jadian sama B—"
"Jangan dikasih tahu, Ren!"
"Duh, Luna, tangan lo asin."
"Lun, lo jadian sama siapa? Bagi peje-nya dong, kalau gitu."
"Ih, Rena sih, rese banget, gue 'kan jadi dimintain peje-peje segala.
"Nggak pa-pa lah, Lun. Bagi aja kali."
"Ya udah deh, Pokoknya, lo semua harus doain gue langgeng sama dia, sebulan dari sekarang, pajak jadiannya udah di tangan kalian."
"Bener ya, Lun? Oke, oke, catet sekarang tanggal berapa?"
Zidney mendongak, menghentikan sebentar aktivitasnya. Menatap jengah kerumunan cewek-cewek di depan papan tulis. Sambil mengerjakan soal matematika, sedari tadi telinganya juga bekerja untuk menyimak pembicaraan teman-teman sekelasnya. Oh, sebenarnya Zidney malas mengakui mereka sebagai teman. Tapi tidak mungkin juga dibilang musuh.
Zidney menunduk dan kembali fokus dengan soal-soal tentang trigonometri pemberian Bu Sugy yang izin mengajar hari ini. Setelah sebelumnya ia mendengus pelan mendapati bahwa hanya dirinya dan cewek berponi yang duduk di pojok dinding sebelah kanan yang tampak mengerjakan tugas itu.
Sedangkan yang lain...
"Zidney, liat dong, gue bener-bener nggak ngerti deh sama soal trigonometri, guru yang ngajar aja bolot banget." Rena duduk di kursi kosong sebelah Zidney dengan buku tulis MTK di tangannya.
Pake ngatain guru bolot, yang ada elo yang bego!
Zidney sedikit menggeser kursinya ke arah Rena, berdehem, lalu mulai mencoret-coret bagian belakang buku latihannya. "Dari yang nomor satu dulu ya, ini 'kan yang ditanya tan alfa, jadi rumusnya sisi depan per sisi samp—"
"Duh, salah, Zid, seharusnya lo bikin langsung di buku gue aja, jangan di belakang buku lo kaya gitu," potong Rena.
"Loh, kalau gitu sama aja dong gue yang ngerjain punya lo?" Zidney tak terima.
Rena memutar bola matanya. "Ya, nggak sama lah. Tapi terserah, deh. Kalau nggak gue nyontek punya lo aja deh."
Zidney geram. Selalu saja begitu. Dia memberi contekan pada Rena, Rena memberikannya pada Luna, Luna memberikannya pada Refon, Refon memberikannya pada..., ah, begitulah, estafet terus berjalan. Seolah-olah tidak ada kompetisi di kelas itu.
Tidak salah jika Zidney mencap mereka berotak bebal.
Zidney menggeser kembali kursinya, mengambil buku cetak dan meletakkannya di atas buku latihan, hingga menutupi delapan nomor yang telah ia kerjakan, lalu mengerjakan tugasnya lagi. "Liat punya Lea aja, gue belum selesai."
"Lea? Lo nggak liat dia lagi maen HP? Lagian kok lo pelit sih, Zidney sayang? Entar gue bantuin deh pedekate lo sama Zahab," rayu Rena.
Zidney menghentikan gerakan penanya. Pandangannya menerawang. "Zahab?"
Sunggingan miring dari bibir Rena tercipta. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Ia menggeser buku cetak yang menghalangi. Aksinya berjalan. Baru saja ia akan menyalin jawaban soal nomor dua, tiba-tiba buku itu menghilang bersama pemiliknya.
"Yah... yah... Zidney, jangan dikumpul dulu! Gue belum selesai!"
🎀
Tidak peduli.
Zidney tidak ingin ambil pusing lagi, jika nantinya mayoritas teman sekelasnya menjauh. Tidak apa-apa, yang penting kedua orangtuanya bangga jika di akhir semester nanti ia meraih peringkat tertinggi.
Meminjamkan buku latihan sama saja dengan membagi nilai, jadi bagaimana target Zidney akan tercapai.
Kepala Zidney memutar. Menoleh ke belakang. Tidak ada dan tidak mungkin juga ada yang mengikutinya.
Untuk apa?
Paling Rena, Luna, dan teman-teman peminta peje tadi sudah mendapatkan kebahagiaan alias contekan dari kelas sebelah, atau pun membaca lengkap-lengkap soal dari Bu Sugy pada smartphone mereka yang diawali dengan "OK Google". Itu pun kalau mereka lagi ada kemauan dan menginginkan nilai.
Menunduk. Entah kenapa, setengah hati Zidney takut jika dia tidak memiliki teman. Sejauh ini, realitanya selalu begitu. Zidney akan punya banyak teman jika sedang ada latihan, PR, apalagi ulangan harian, nyaris seluruh mata pelajaran. Beruntung tidak semuanya.
Tapi sayang, itu hanya sementara.
Kini Zidney berada di depan sebuah ruangan. Kantor guru. Memasukinya membuat Zidney sedikit tenang. Hawa sejuk dari AC, memancar sampai ke hati.
"Zidney Maura!" Panggilan itu menyentak Zidney. Matanya yang menutup terpaksa harus membuka.
"I...iya, Bu?" Guru seni!
Guru itu mendekat. Ada yang ganjil dengan pandangannya. "Itu apa?"
Zidney sekilas mengangkat bukunya. "Tugas MTK, mau ditarok ke meja Bu Sugy."
Guru itu menggeleng. "Bukan. Maksud saya di bawah kaki kamu."
Zidney mengikuti arah pandang guru itu. Matanya melebar, nyaris terjungkal. Dan entah kenapa... ia mual.
🎀
Dua orang, cowok dan cewek berjalan berdampingan di koridor sebuah sekolah elite. Masing-masing memegang sebuah map. Yang cewek memeluknya, sedangkan yang cowok hanya menenteng.
Mimik muka sang cowok serius dan si cewek tampak ceria sambil tersenyum jahil menggoda cowok di sampingnya.
"Udahlah, Hab, kalau lo mau pindah, pindah aja. Jangan mikirin gue, gue nggak pa-pa kok sendirian di sini," cetus si cewek setelah hening beberapa saat.
Dengan wajah datar, si cowok menjawab. "Gue nggak tau dan gue nggak mikirin lo."
"It's okay." Si cewek mengangguk-angguk. "Terus masalahnya apa lagi? Jangan bilang lo nggak mau ke Competitive karena sekolah itu jauh dari kriteria favorit?" Matanya menyipit.
"Ck. Nggak perlu. Gue sendiri juga udah favorit."
"Yeeeh... pede lo, ih. Tapi nggak pa-pa. Terus sekarang gue mau nanya sama lo." Si cewek menunjuk muka si cowok. "Kenapa muka lo ini masih aja kayak banyak masalah? Nggak minat hidup ya lo? Atau, lo nggak mau pake putih abu-abu kayak di Competitive? Nggak pengen pisah sama
Si cowok menyingkirkan tangan di depan hidungnya. "Kepo ah, lo."
Si cewek menyampirkan tangannya di depan dada sambil mengangguk-angguk lengkap dengan senyum sok tahu. "Hm... gue tau, di Competitive 'kan ada..." dia menoel-noel lengan cowok di sebelahnya.
Si cowok lantas menoleh.
"Cie... yang bakal CLBK lagi...."
Si cowok mengangkat mapnya dengan kedua tangan, lalu menempelkannya tepat di wajah si cewek. Sedikit menekan, namun, tidak begitu kuat. Setelah itu, dia langsung mengambil jurus kaki seribu.
Si cewek yang ditimpuk map, jelas tidak terima. Dia mengacungkan map itu dengan geram, sambil berlari. Sebenarnya umpatan-umpatan emas ingin ia keluarkan, tapi mengingat ramainya orangnya di sekitar, membuat dia mengurungkan niat itu.
Senyum kecil tercetak di wajahnya dengan pandangan sendu. Momen ini... pasti sukar terjadi, jika mereka berpisah.
Si cewek di Totality High School dan si cowok di SMAN Competitive.
🎀
KAMU SEDANG MEMBACA
The One and Only
Teen FictionJangan hanya menilai sesuatu dari "kata orang". Camkan itu! Zidney, Zahab, Marzuki. Inilah kisah mereka. Kisah yang bersemi, di tempat yang pernah mereka cap sebagai 'tempat terkutuk'. ©copyright, 2017 addini_sft