2-Murid Baru Itu...

53 40 43
                                    

Zidney berbaring di brankar. Bukan di UKS. Melainkan bilik kecil dalam kantor guru.

Setelah mengikuti arah pandang guru seni tadi, ia mual. Hingga isi perutnya naik ke atas sampai ke bawah lagi tepatnya di tong sampah. Beruntung, pada saat itu benda tersebut ada di dekat Zidney. Kalau tidak, ia harus menunda kepulangannya guna mengepel lantai kantor yang menjadi imbasnya. Ditambah lagi tubuhnya masih lemas.

Zidney jijik dengan darah, atau lebih tepatnya takut, atau phobia, atau entah apalah itu namanya. Yang jelas, setelah melihat ke bawah, Zidney mendapati telapak sepatunya berlumuran darah. Tapi bukan dari sana sumbernya. Ada sesuatu yang dia injak.

Sebuah kaki bersandal jepit.

Dari situlah asalnya. Karena keasyikan dengan kesejukan air conditioner di ruangan itu, Zidney sampai tidak sadar telah menginjak kaki seseorang... sampai berdarah. Ini yang tidak dia mengerti. Ujung sepatunya tidak runcing ataupun tajam. Lalu kenapa sampai selebay itu? Berdarah. Banyak lagi. Rasanya Zidney ingin kembali muntah jika mengingat itu.

Zidney merogoh saku roknya. Mengeluarkan HP. Menghidupkannya dan... untunglah, baru jam istirahat. Dia buru-buru duduk. Bagaimana keadaan kaki orang yang dia injak tadi? Keadaan orangnya juga seperti apa?

Ada air putih di nakas, tinggal setengah. Zidney menghabiskannya. Lalu ia beringsut turun dan keluar.

Di luar, guru-guru ramai sekali. Ada yang makan siang dan ada pula yang hanya sekedar berbincang. Untunglah, ketika insiden tadi terjadi guru-guru tidak seramai ini. Semuanya pada sibuk di kelas.

"Zidney, sudah baikan?"

Seorang guru menyapanya. Bukan guru seni, dan guru seni itu tidak kelihatan di sini. Baguslah, Zidney tidak perlu menghadapi guru itu dengan–Zidney tahu persis apa urusan guru seni itu dengannya–hal-hal yang pasti bisa membuatnya kembali lemas seperti tadi, atau bahkan lebih parah.

Oke, itu terdengar sangat berlebihan.

Guru itu baru keluar dari dapur yang bersebelahan dengan bilik.

Bu Ratna, wali kelas X IPA 1.

Menanggapi pertanyaan Bu Ratna, Zidney yang berdiri di ambang pintu lantas mengangguk sopan.

Kepulan asap keluar dari cangkir kecil pada genggaman Bu Ratna. Guru itu menaruhnya ke meja terdekat darinya dan duduk di kursi depan meja.

Menyesap teh sebentar. "Hm, kamu langsung ke UKS ya, liat kondisi kaki anak yang kamu pijak tadi."

Duh, Zidney sedikit takut. Takut kaki anak itu parah, dia disalahkan, hingga berakhir di jeruji tahanan. Oh, NO!

Terkadang khayalan bisa jauh lebih parah dari realita.

🎀

Zidney memandang jeri kaki cowok yang dibalut perban itu. Kini ia berada di UKS bersama sang pemilik kaki yang duduk di tepi brankar dengan kaki menapak di lantai, juga dua petugas UKS yang tadi mengobati luka itu.

"Kamu nggak pa-pa?" tanya Zidney, ia melirik sebentar dua petugas yang sepertinya tidak memerhatikannya, lalu beralih ke cowok di depannya.

Cowok di depannya menaikkan alis. "Thank's for your care, Marzuki Lovers."

Zidney bergidik ngeri melihat ekspresi cowok itu. Dia tertawa, terpaksa. "Heh, aku Zidney, bukan Marzuki lovers. Dan aku mau... minta maaf."

"Zidney? Unyu ya namanya, sama kayak yang punya, hehe.... Hm, mau minta maaf kenapa nih? Setau gue, lo nggak punya salah. Atau, lo mau minta maaf karena udah suka sama gue? Gue maafin, dah. Tapi... tunggu dulu. Bisa nggak ngomong pake gue-elo? Aku-kamu itu kesannya kayak gue itu pacar lo. Atau jangan-jangan, ini kode?" tanya cowok itu sambil menyipitkan matanya. Zidney hanya membalasnya dengan tatapan 'ini cowok beli stok pede di mana, ya?'

The One and OnlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang