Setelah menyerahkan dua lembar uang dua ribuan pada seorang bapak berjaket kulit hitam yang mengantarnya dengan sepeda motor sampai depan rumah, Zidney langsung memasuki rumahnya, tanpa melihat sekeliling. Ia bahkan tidak peduli pada Marzuki yang tadi tidak masuk sekolah–dia absen.
Yang dia pedulikan sekarang adalah, Bunda. Ia ingin bertemu Bunda secepatnya.
Tepat di saat kakinya menginjak lantai rumah. Zidney langsung memanggil-manggil Bunda. Karena tidak ada sahutan, dia pun meneriakkan nama adiknya pula. Setiap sudut ruangan di rumahnya ia cek. Namun hasilnya nihil. Bunda dan Zauza sedang tidak di rumah.
Zidney memutuskan untuk ganti baju dulu, setelah itu baru menelepon Bunda.
Setelah berganti pakaian, Zidney menuju ruang keluarga. Mengambil remote, lalu menghidupkan televisi. Ia duduk di karpet depan TV sambil menekan-nekan tombol di HP senternya. Bibir tipis yang atasnya lancip, membentuk huruf m itu terus saja mengerucut.
Handphone Bunda... handphone Bunda... ah, ini dia. Di meja makan. Setahu Zidney, Bunda tidak pernah menaruh ponselnya di tempat ini. Lalu kenapa ditinggalkan? Biasanya, Bunda selalu bawa HP 'kan?
Bunda kemana? Masa Zidney ditinggal sendirian? Kenapa sebelum pergi nggak ngomong apa-apa?
Memikirkan semua itu, membuat tingkat ke-badmood-an Zidney bertambah. Ia kembali mengambil remote, berharap ada siaran yang bisa memberikan sedikit penyegaran.
Zidney mendengus. Tidak ada. Semuanya membosankan. Baru saja ia akan membanting remote, sebuah panggilan menginterupsi.
"Kak Zidney."
Zidney menoleh. Zauza muncul dari balik pintu belakang.
Zidney lantas meletakkan kembali benda yang akan ia banting, lalu bertanya, "Bunda mana, Ja?"
Zauza tidak menghiraukan pertanyaan Zidney. Ia mendekat lalu mengambil tangan kakaknya, menariknya sampai keluar pintu belakang.
Zidney tentu tidak menolak. Mungkin ini jawaban atas pertanyaannya.
Zidney mengernyit. Setelah keluar dari pintu belakang tarikan tangan adiknya membawanya kembali masuk melalui pintu belakang. Namun bukan rumahnya, melainkan rumah tetangganya yang belum genap seminggu. Marzuki.
Jujur Zidney masih penasaran soal kemarin. Tentang apa yang membuat Marzuki saat itu pergi tiba-tiba, tapi rasa kesalnya menutupi semua itu. Padahal hari itu ia bilang akan tinggal saja, namun Marzuki tetap bersikeras agar Zidney ikut pulang bersamanya. Alhasil, I-Phone dan barang sejenisnya itu hanya ada di khayalan Zidney belaka. Hanya satu yang nyata. Hadiah hiburan, yang hingga sekarang Zidney masih enggan membukanya.
Zidney tidak tahu apakah Marzuki merasa rugi atau tidak dengan sepuluh kupon yang tiap-tiapnya berharga lima ribu hanya ditukar dengan hadiah hiburan yang Zidney yakini harganya tidak lebih dari harga dua kupon itu.
Baru saja Zidney akan menanyakan maksud adiknya membawanya ke sini, namun figur Bunda mengurungkan niatnya.
"Bunda, Bunda habis dari mana?" tanya Zidney, tidak sabar menanti jawaban Bunda.
Bunda tersenyum hangat. Lalu mendekati anak gadisnya.
Zidney mengerutkan keningnya sangat dalam. Dia mengangkat sebelah tangannya agar Bunda menunda pembicaraannya.
Bunda pakai hitam-hitam! Itu artinya....
Zidney melangkah tergesa ke kamar. Pertama kamar belakang, tidak ada siapa-siapa. Kamar itu telah disulap menjadi dapur. Kedua, kamar sebelahnya, Zidney menyingkap gorden kamar itu perlahan. Huh, dia tahu ini tidak sopan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One and Only
Teen FictionJangan hanya menilai sesuatu dari "kata orang". Camkan itu! Zidney, Zahab, Marzuki. Inilah kisah mereka. Kisah yang bersemi, di tempat yang pernah mereka cap sebagai 'tempat terkutuk'. ©copyright, 2017 addini_sft