"Aku bersikap semena-mena setelah kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku hari itu. Bukan berarti aku menganggapnya bukan apa-apa. Hanya saja itu... terlalu apa-apa. Untukku." -MARZUKI
Hari ini Zidney resmi dikarantina. Karantina yang menyatukan seluruh peserta olimpiade dari berbagai mata pelajaran. Jauh di luar ekspektasi. Ini bukan karantina mewah yang membuat kau ingin berlama-lama di sana, layaknya hotel berbintang dua puluh lima-oke, ini terkesan sedikit lebay-tapi ini hanyalah sebuah kotak alias ruangan petak berukuran 4 x 4 meter. Kecil sekali, bukan? Bagaimana tidak, ruangan ini adalah ruangan kelas X IPS 2 yang muridnya berjumlah sembilan belas orang dan kini anak-anaknya diungsikan ke... ke mana ya? Ah, Zidney juga tidak mau tahu. Satu lagi, yang benar saja masak Zidney duduk di lantai?
Yang jelas, semua dugaan manis selama kurang lebih dua bulan terakhir Zidney hancur. Ia kira, sebagai anak emas, karantina ini menyediakan asupan gizi yang 'wah' untuknya. Ternyata, di ruangan petak ini Zidney hanya belajar otodidak dengan setumpuk buku yang tadi ia pinjam di perpustakaan yang sedikit banyaknya... tidak begitu membantu.
Ah, mungkin Zidney terlalu berlebihan menganggap dirinya sebagai anak emas. Ini kan hanya lomba tingkat provinsi, bukan internasional.
Lagian, ada delapan murid lagi yang bernasib sama dengannya. Setelah sebelumnya mereka berdua puluh lima mengikuti olimpiade kota.
Namun di samping itu, tidak apalah Zidney sedikit berbangga. Karena faktanya, dialah the one and only dari kelas sepuluh, dari jurusan... IPA. Terus yang jurusan IPS kira-kira siapa, ya?
Zidney menyapu pandangannya ke seluruh ruangan. Tampak Kak Mona yang mulutnya komat-kamit, duduk di pojok ruangan, menghafal sistem organ pada hewan-suaranya terdengar jelas oleh Zidney yang duduk sekitar kurang lebih satu meter di depan Kak Mona. Ada pula Bang Dylan ganteng, yang asyik bergelut dengan rumus-rumus fisikanya. Kak Gika tampak frustasi dengan-kalau Zidney lihat dari sini, di samping Kak Gika-soal tentang senyawa hidrokarbon. Hm, Bu Sinta, guru kimia Zidney, sih belum ngajarin materi ini. Yang lainnya, Zidney juga lihat kakak-kakak anak IPS yang, yah, Zidney tidak kenal banyak.
Baru saja Zidney akan menekur kembali. Mengerjakan soal paling rumit di antara soal-soal rumit lainnya. Sebenarnya simpel saja, hanya tentang bangun datar segitiga. Namun sang pembuat soal yang entah siapa itu menaruh jebakan batman di mana-mana, sehingga mengerjakannya harus teliti.
Pandangan Zidney teralihkan ke satu pusat. Ada yang baru masuk dari pintu ruangan. Seorang guru, kalau Zidney tidak salah namanya Bu Wati-Zidney kurang tahu, karena dia guru IPS. Oh, tentu saja bukan. Bukan itu yang Zidney maksud. Gadis dengan mata setengah sipitnya itu tercenung melihat seseorang di belakang Bu Wati.
Zidney mengucek matanya berulang-ulang, mengedip-ngedipkannya. Namun yang dia lihat masih sama. Bu Wati dengan seseorang di belakangnya yang sekarang mengambil tempat duduk tak jauh dari Zidney. Duduk membelakangi Zidney dan belum menyadari kehadiran Zidney.
Zidney meletakkan pena, kertas soal, dan buku matematika ke lantai. Bangkit dari duduk bersilanya. Kak Gika yang duduk di sampingnya sempat menahan tangannya, bertanya "mau ke mana?". Zidney bilang "ke WC bentar, Kak".
Zidney tahu bohong itu dosa. Tapi sekali-sekali boleh kali, ya. Rencana Zidney sekarang adalah, bangkit dari duduk, berjalan, melewati orang itu, berdeham pelan agar orang itu menyadari kehadiran Zidney, dan....
KAMU SEDANG MEMBACA
The One and Only
Roman pour AdolescentsJangan hanya menilai sesuatu dari "kata orang". Camkan itu! Zidney, Zahab, Marzuki. Inilah kisah mereka. Kisah yang bersemi, di tempat yang pernah mereka cap sebagai 'tempat terkutuk'. ©copyright, 2017 addini_sft