16-Seseorang

4 5 0
                                    

"Berangkat dulu, ya, Bang." Sud mencium tangan Marzuki, lalu ngacir keluar rumah, setelah menyampirkan ranselnya di bahu kanan.

Marzuki bersyukur saja, sebab jarak sekolah Sud dari rumah hanya kurang lebih seratus meter. Jadi tidak masalah bagi anak itu, pergi sekolah jalan kaki. Dan Marzuki bisa boncengan sama Zidney-ya, katakan saja Marzuki kakak yang tidak berbakti.

Marzuki langsung menggaet ranselnya dan mengunci pintu rumah dengan gerakan sigap sebelum tancap gas dengan motornya, ke rumah sebelah, rumah siapa lagi kalau bukan rumah-ehem-Zidney.

"Nunggu lama, Zee?" Marzuki berhenti tepat di halaman rumah Zidney. Zidney yang berdiri di teras sambil menggenggam pegangan ransel di kanan kiri, berjalan mendekat.

"Gue sampe lumutan," ucap Zidney seraya duduk di boncengan motor.

Hampir setengah menit, namun Marzuki tidak kunjung menjalankan motornya. Zidney menepuk bahu Marzuki tanpa ampun. "Mar, jangan modus, deh. Kenapa belom jalan?"

Marzuki tergelak sampai bahunya bergetar. "Cieee... yang pengen dimodusin." Marzuki berdeham. "Ya enggaklah, Tante mana, sih? Gue mau izin sama calon mertua."

Zidney menoyor kepala Marzuki. "Kurang-kurangin, Mar. Emang nyokap gue mau menantu kaya lo?"

Ucapan Zidney sedikit menyakitkan. Namun rasa sakit itu menguap dengan kehadiran ayah Zidney dari dalam rumah. Marzuki lantas memamerkan senyum terbaiknya.

"Jadi sekarang Zidney dianterin kamu, Juki. Bagus, deh, jadi om bisa langsung ke pasar." Ayah Zidney berjalan ke arah motornya yang terparkir di halaman. Ia akan berangkat ke pasar sebagai penjual baju. Yah, walaupun sekarang masih anak buah, bisa jadi suatu saat nanti pria berumur empat puluh itu adalah pemilik toko baju yang jauh lebih besar dari toko baju tempat dia bekerja kini.

"Om tenang aja, Zidney biar saya yang anter jemput." Marzuki terkekeh.

Zidney semakin muak dengan cengiran-cengiran jaim Marzuki. Ia mendengus, lalu berujar gemas pada cowok itu. "Mar, udah, jalan aja 'napa?"

Marzuki sedikit memiringkan kepalanya dan berbisik. "Tadi 'kan gue bilang mau pamitan sama Tante dulu."

"Nggak bisa, nyokap gue di dapur. Kalau lo nggak mau jalan juga, mendingan gue turun."

"Iye, iye, gue jalan. Galak amat, sih, Mbak." Marzuki memasukkan gigi motornya, sedetik kemudian ia sadar ada yang beda. "Lah, Om udah nancep gas aja, Zee," heran Marzuki mendapati ayah Zidney sudah tidak lagi di sekitar mereka. Hilang bersama kendaraan roda duanya.

Zidney menghela napas. Kebiasaan Ayah, pergi tanpa pamit, kalau lawan bicara lagi sibuk. Ya, mereka sibuk bisik-bisik, sampai tidak sadar-

Ah, Zidney yang tidak sadar kalau Marzuki sudah melajukan motor dengan satu hentakan gas, sehingga nyaris membuat Zidney terjungkal ke belakang.

Sontak Zidney mencengkeram erat seragam Marzuki.

🎀

Zidney merapikan tepi-tepi rambutnya yang berantakan dengan bibir manyun. Bagaimana tidak, Marzuki seenaknya melajukan motornya dengan kelajuan di atas rata-rata, dan parahnya, Zidney tidak pakai helm.

Garis bawahi. TIDAK PAKAI HELM.

Oke, Zidney akui Zidney lebay, tapi ini menyangkut keselamatan, kalau terjadi apa-apa 'kan, panjang lagi urusannya.

"Woy! Masih aja manyun." Marzuki menepuk tas hitam Zidney yang tebal dan berat. Biasa, anak eksak sejati emang harus gitu. Bukan kaya Marzuki yang cuma bawa tas selempang, isinya dua buku tulis campur sari. Sama pena yang... oh iya, kemarin jatuh jadinya macet.

The One and OnlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang