Zidney menunduk. Zahab pun menunduk. Namun diam-diam, keduanya saling tersenyum. Mereka berpapasan di pintu ruang karantina. Zahab ingin masuk, Zidney akan keluar.
Beberapa detik, mereka masih nyaman berdiam diri di ambang pintu. Lirik-melirik, menggunakan ekor mata masing-masing. Hati mereka serempak menghangat.
Zidney teringat kembali kejadian di kala senja itu. Terpikir kembali gurat kekhawatiran di wajah sempurna Zahab. Terbayang kembali kronologi saat Zahab menepuk tengkuknya, membantunya memuntahkan kembali minuman yang tidak berkena dengan perutnya. Saat Zahab membimbing jalannya yang lunglai, tersenyum hangat, sehangat sinar mentari yang kala itu menampakkan keindahannya yang paling indah. Wajah Zahab di bawah sinar lembayung. Ciptaan Tuhan yang tidak bisa didustakan.
Pikiran Zahab juga terbang dan bermukim di kejadian itu. Saat akhirnya, Zidney memaafkannya tanpa perlu membuang tenaga untuk mengolah kata. Saat akhirnya, Zidney kembali tersenyum tulus padanya, setelah sekian lama.
"Olim. MTK, ya?"
Zidney menegakkan wajahnya. Seketika ia disambut senyum sehangat mentari itu. Zidney mengangguk, merespons pertanyaan kecil barusan.
Setelah mendapat anggukan dari Zidney, entah kenapa niatnya untuk masuk ruangan, urung. Ia lantas duduk di kursi panjang koridor. Dan dari gerak-gerik itu, Zidney paham. Kalau Zahab ingin dia turut duduk.
Mereka menyelonjorkan kaki di bangku panjang koridor dengan jarak tebal, yang membuat canggung.
"Hm, boleh geser?" Lagi-lagi, Zahab yang memulai dulu.
Zidney tergelak. Entah apa yang ada di pikiran mereka berdua, sampai harus duduk di ujung-ujung seperti ini. "Boleh, tapi jangan deket-deket. Bukan muhrim."
Jujur, Zahab rindu dengan mimik muka galak, namun penuh candaan itu. Pelototan mata, namun menyiratkan kilau kebahagiaan itu. Bibir berkedut dan... sangat lucu itu.
Zahab menggeser duduknya. Mengikis setengah jarak tebal yang mengusik mereka. Pelan tapi pasti, Zahab membasahi tenggorokannya, melicinkan pita suara agar mau mengeluarkan kata-kata.
"Hm, olim. MTK, ya?" tanya Zahab seraya menjilat sekilas bagian atas bibirnya.
Sontak Zidney terbahak. Beberapa saat, usai tawanya mereda, ia melanjutkan, "Tadi lo udah nanya itu."
Zahab tergagap. Ia bahkan tidak sadar, serius tadi... udah nanya?
Detik selanjutnya, ia tertawa. Geli sendiri. "Ya Allah, apa yang bisa menghentikan kecanggungan ini?" Zahab mengusap wajahnya gusar, bersikap sok dramatis.
Zidney melirik Zahab dengan ekor mata. Diam-diam, ia tersenyum. Senyum kecil yang sarat akan beribu makna.
"Kenapa Ekonomi? Bukannya lo jago MTK?" Zidney bertanya, kala semua tawa sudah mereda. Memancing perbincangan serius namun santai.
"Jago?" Zahab meringis, "siapa bilang?" Sekilas dia memalingkan wajah ke arah lain, untuk mengulas senyum getir.
"Hei, ambisi gue dulu, adalah merebut juara satu seorang Zahab. Ambisi gue dulu, menyingkirkan seorang Zahab, dari singgasananya sebagai peserta olim. MTK," Zidney memandang Zahab lekat, "yang selalu menang. Ambi-"
Entah kenapa, suara sepatu yang bertubrukan dengan keramik mampu menghentikan ucapan Zidney. Ketukan sekali, yang-masih teringat jelas di benak Zidney-hadir ketika Zahab ingin mengakhiri sesuatu yang tidak mau ia dengar. Ya, Zidney masih ingat itu.
"Sori," tandas Zidney akhirnya. Ia mengangguk-angguk, sebelum akhirnya berdiri untuk masuk kembali ke ruang karantina. Bel tanda istirahat selesai baru saja berdering.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One and Only
Ficção AdolescenteJangan hanya menilai sesuatu dari "kata orang". Camkan itu! Zidney, Zahab, Marzuki. Inilah kisah mereka. Kisah yang bersemi, di tempat yang pernah mereka cap sebagai 'tempat terkutuk'. ©copyright, 2017 addini_sft