Marzuki mendiamkan tangan kanannya yang berdiri tegak, mengepal di udara. Setelah sebelumnya, beberapa kali ia turunkan, dan dinaikkan kembali. Marzuki menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. Setelah menghela napas, ia kembali memosisikan tangannya. Kali ini tidak hanya berhenti di udara. Namun, lebih maju, tepatnya pada pintu berwarna biru muda di depannya.
Marzuki menghitung dalam hati. Sampai tiga. Setelahnya, barulah ia memundurkan tangannya, lalu memajukannya lagi, hingga ke pintu. Mengetuk berulang kali. Setelah terdengar sahutan dari dalam, barulah ia berhenti.
Tangan Marzuki turun. Masuk ke saku celana jeans hitamnya. Sebelah kakinya ia tekuk, sambil digoyang-goyangkan, dan sebelahnya lagi menahan. Ia menunggu, harap-harap cemas. Sedari tadi, helaan napas gusar tidak bosan-bosannya ia keluarkan dari mulut.
Marzuki menegapkan tubuhnya setelah mendengar suara engsel pintu yang diayunkan. Kaos lengan panjang, biru tua, bermotif garis-garis yang dipakainya, ia rapikan.
"Eh, Nak Marzuki, ayo, masuk," sambut bunda Zidney ramah.
Marzuki menggeleng. "Saya di sini aja, Tante. Hm, Zidney-nya ada, Tan?"
"Ada. Eh, tapi,"-bunda Zidney mencuil lengan Marzuki-"makanan yang tadi tante kasih udah dimakan, belum?"
"Udah," Marzuki menjawab, sedikit tidak sabaran. Karena sekarang yang ia mau, adalah Zidney.
"Bagus. Kalau gitu, kamu jangan mesen fast food lagi, ya, biar tante aja yang nganterin makanan."
Marzuki tersenyum canggung. Bundanya Zidney benar-benar baik, tapi saat ini, anaknyalah yang terbaik. Maksudnya... untuk ditemui.
"Iya, ini tante mau panggilin Zidney. Nggak sabar banget, deh, kayaknya mau ketemu." Itu yang bunda Zidney katakan, sebelum balik kanan menuju kamar Zidney. Duh, feeling Bunda tepat sekali!
Marzuki mengusap wajahnya. Ia merasa waktu berjalan sangat lambat juga cepat, di saat yang bersamaan.
Sangat lambat, untuk menanti Zidney keluar.
Sangat cepat, untuk kemungkinan buruk dari gadis itu.
🎀
Dekat di hati?
Tiga bulan lalu, Zidney percaya kata-kata itu.
Tiga bulan lalu, Zidney percaya pada orang yang mengatakan itu.
Tiga bulan lalu... kepercayaan itu hancur, semisal cermin yang terhempas dari jarak yang sangat jauh.
Tiga bulan lalu, saat suara menenangkan yang Zidney rindukan itu, mengatakan kalimat yang kini telah menghempas kepercayaannya, Zidney tersenyum bahagia. Usai menerima kalimat-kalimat menyakitkan dari Pak Matan, dan berasumsi bahwa Zahab dan Henel itu sangatlah serasi, setidaknya, Zahab telah mengobati itu semua, sebelum akhirnya dia menyuapi penyakit yang jauh lebih tinggi.
Saat itu, Zidney berjalan cepat, sambil terus-terusan berupaya menghapus air mata yang sedari tadi terus membobol pertahanannya. Tidak disangka-sangka, air mata itu berhenti di tempat, hanya karena satu tarikan lembut di lengan Zidney, dan sebuah suara yang memanggil nama Zidney.
Saat berbalik badan, Zidney mendapati Zahab sedang menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Kenapa nangis?" cowok jangkung dengan kulit putih bersih itu bertanya.
"Kita belum putus, 'kan?" Pertanyaan yang menyiratkan harapan itu, Zidney ucapkan dengan terbata-bata.
Senyum menenangkan itu, sehangat mentari, Zidney terima bersamaan dengan tepukan lembut di kedua bahunya. Dengan mencengkram kedua bahu Zidney, Zahab menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One and Only
Teen FictionJangan hanya menilai sesuatu dari "kata orang". Camkan itu! Zidney, Zahab, Marzuki. Inilah kisah mereka. Kisah yang bersemi, di tempat yang pernah mereka cap sebagai 'tempat terkutuk'. ©copyright, 2017 addini_sft