"Bang Juki, berhenti di sini!"
Marzuki mendelik pada adiknya yang menyengir tanpa dosa. Lalu ia meminggirkan sepeda motornya di samping trotoar, di bawah pohon. "Manggil gue kayak gitu sekali lagi, gue timpuk lo!" salaknya galak.
Setelahnya, ketiganya-Marzuki, Sud, dan Zidney-turun dari motor. Dengan raut muka yang berbeda-beda. Seperti yang telah diketahui, Marzuki dan Sud yang berantem khas ala kakak-adik, dan Zidney yang terpelongo melihat keduanya, juga diiringi dengan tawa kecil.
"Kenapa kita berhenti di sini?" Pertanyaan Zidney, sontak menghentikan kegaduhan dua kakak beradik di hadapannya.
Marzuki memandang Zidney sebentar, lalu mendongak. Menggapai sesuatu di atas kepalanya. Agak kesusahan, memang. Seharusnya dia naik trotoar saja biar gampang. Tapi, ya sudahlah.
Setelah mendapatkan apa yang ia raih, ia mendekati Zidney yang berdiri di atas trotoar-membuat Zidney terlihat lebih tinggi darinya.
"Zee, suka ceri?" Marzuki memamerkan apa yang ia ambil tadi pada Zidney. Tiga buah ceri tergantung di tangannya-ia memegangi tangkainya.
Zidney mengernyit, memandang awas ke sekeliling, dan menengadah, memandangi buah-buah kecil berwarna merah segar yang tersebar di antara dedaunan pohon itu. Meneguk ludahnya, ini pasti enak! Tapi, untuk mengambilnya dia takut. Emang siapa yang punya? Entar diteriakin maling, lagi. Biarlah, Marzuki saja.
Zidney mendekatkan wajahnya ke telinga Marzuki, dengan satu tangan menyamping di samping bibirnya. Ia berbisik, "Emang nggak pa-pa nyolong?"
Marzuki tersenyum geli, lalu membalas pertanyaan Zidney. Tak kalah berbisik. "Sekali-kali nggak pa-pa, Zee."
Zidney melompat turun dari trotoar, dan menyambar tiga buah ceri di tangan Marzuki. "Mau, dong, kalau gitu." Dalam hitungan detik, Zidney sudah melenyapkan ketiganya.
"Ada lagi, Mar?"
"Ada." Marzuki melihat ke atas. Namun, bukan untuk mengincar ceri-ceri itu, melainkan... ada seseorang di sana.
Siapa lagi kalau bukan Sud yang sedang duduk santai di atas sana-pohon ceri-sambil memetik buah-buah itu, lalu dimakan. Untunglah, dia tidak menyerakkan sepah-sepahnya ke bawah, kalau tidak Marzuki pasti tidak akan tinggal diam. Melihat adiknya seperti 'monyet' saja, sudah membuat ia resah. Namun apalah daya, ini semua demi kelancaran strateginya yang telah ia susun bersama adiknya itu.
Di atas, Sud mengibas-ngibaskan kedua tangannya layaknya sedang mengusir sesuatu. Marzuki menghela napas. Cepat-cepat mengajak Zidney naik ke atas motornya. Zidney sih menurut saja, namun ekor matanya tidak bisa lepas dari atas, berharap Sud mau menjatuhkan buah-buah itu dan Zidney menampungnya dari bawah.
"Mar, itu Sud belum turun, lho...." Zidney membalikkan kepalanya menghadap Sud, dan memberi kode tangan, menyuruh Sud turun. Namun adik Marzuki itu tetap seperti tadi, mengibas-ngibaskan kedua tangannya.
"Udah, Zee, biarin aja. Sekarang lo mau ikut gue, atau nggak bakal makan ceri selamanya," ujar Marzuki dengan memasang tampang sok yang membuat Zidney ingin....
Zidney menoyor kepala Marzuki. "Ya elah, pake sok-sok ngancem segala lo."
Marzuki terkekeh, sebelum keduanya menduduki jok motor yang melaju membelah jalan, meninggalkan Sud sendirian dengan ceri-cerinya. Kalau bisa dibilang, sih, saat ini Sud merasa dunia milik ia sendiri.
Setelah keduanya sampai di tempat tujuan, mereka pun turun. Sama saja, tetap di samping trotoar. Bedanya, di sini tidak ada pohon apa pun.
Satu, dua, tiga. Marzuki menghitung dalam hati. "Buat lo, Zee." To the point. Marzuki langsung menyodorkan sebuah smartphone yang masih baru pada Zidney.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One and Only
Teen FictionJangan hanya menilai sesuatu dari "kata orang". Camkan itu! Zidney, Zahab, Marzuki. Inilah kisah mereka. Kisah yang bersemi, di tempat yang pernah mereka cap sebagai 'tempat terkutuk'. ©copyright, 2017 addini_sft