"Aku tidak mengerti ucapanmu, bukan berarti aku bodoh. Hanya saja, kata-katamu itu... terlalu aneh. Untukku." -ZIDNEY
"Aaaaahhh... Marzuki, lo bisa aja!"
Zidney lantas menoleh ke belakang setelah mendengar teriakan histeris itu. Tampaklah pemandangan dua sejoli yang sedang tertawa lepas di kursi pojok kiri paling belakang. Dengan posisi si cewek yang duduk di kursi dan si cowok yang tak lain adalah Marzuki, duduk di meja.
Lea. Selama ini yang Zidney tahu tentang cewek berkacamata dan berambut ikal coklat itu, dia tidak pernah tertawa, apalagi sampai berteriak seperti tadi. Lea hanyalah gadis pendiam yang selalu duduk di pojokan dengan earphone yang selalu terpasang di telinga, juga smartphone-nya yang ia putar sempilan puluh derajat.
Zidney mengira, mungkin ia nonton film.
Tapi yang Zidney herankan, Lea selalu mengumpulkan tugasnya lebih awal. Dialah satu-satunya yang tidak pernah menyontek pada Zidney. Pernah sekali, Zidney bertanya kapan Lea mengerjakan PR, lalu Lea bilang di rumah.
Zidney menghela napas, membalikkan badannya lagi. Mencoba kembali fokus pada kertas yang menampung soal-soal rumit yang ia bahas sedari tadi. Bagaimana tidak rumit, soal pemberian Pak Riko, guru Matematika, ini 'kan merupakan soal olimpiade Matematika tingkat nasional tahun lalu. Walaupun yang akan Zidney ikuti nanti adalah tingkat provinsi.
"Zidney, sini, deh." Zidney tidak bisa banyak bertanya lagi, saat Lea menghampiri tempat duduknya, dan menarik tangannya sampai ke kursi paling belakang. Yang Zidney tahu, ketika tangannya ditarik, Marzuki malah berbalik pergi. Dengan menyungging senyum kecil, ia menghilang di balik pintu kelas.
Zidney mengernyit. "Lho, Le, ini ngapain kursi belakang ditari-" Lea menempelkan jari telunjuknya ke bibir. Mau tak mau, Zidney bungkam.
"Duduk ya, Zid." Zidney hanya memberi tatapan tidak suka, saat Lea memegang kedua bahunya guna menduduki Zidney di kursi yang tadinya ada di dinding paling belakang-tidak ada yang punya-dan sekarang berpindah ke samping kursi Lea.
Zidney hanya diam saat Lea memasangkan earphone di telinganya. Entah kenapa, ia merasa bodoh. Mau saja menurut. Setelah itu, Lea mengotak-atik ponselnya. Beberapa detik kemudian, matanya berbinar sendiri, menyampaikan seruan, "nah, ini dia!".
Lea memiringkan ponselnya, menyandarkannya pada tumpukan buku di mejanya. Ia menekan tombol volume di sisi ponsel beberapa kali. "Udah kedengeran belum, Zid?"
Zidney memasang ekspresi enggan, mengangkat sebelah tangannya. "Stop! Entar gendang telinga gue pecah lagi," sungut Zidney. Lea hanya terkekeh dan tidak berkata apa-apa lagi.
Keduanya-Lea dan Zidney, mulai memerhatikan sesuatu yang bergerak-gerak di layar ponsel. Dahi Zidney berkerut-kerut. Sedangkan Lea tidak sabar, menanti apa yang akan keluar dari mulut Zidney.
Zidney sedikit menekan kepala earphone di telinganya. Terdengar jelas suara renyah khas seseorang yang belakangan ini akrab menyapa pendengarannya.
Kalian semua, pernah nggak sih, ngerasain saat di mana kita itu terus-terusan mikirin sebuah objek yang sama? Mau makan dipikirin, mau tidur apalagi, mau... hm, boker aja juga kepikiran. Terdengar kekehan kecil dari suara itu, namun tak berapa lama, dia berdehem. Gue tau, ini klise banget. Tapi, ya mau gimana lagi. Gue bener-bener lagi kepikiran sosok dia yang... ya, yang menjadi objeknya itu. Kali ini lagu gue, khusus buat dia. Jeda sebentar, dan di layar HP itu terlihat seseorang yang sedang mengambil gitar yang berada di sebelahnya. Aba-aba musik, mulai merebak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One and Only
Teen FictionJangan hanya menilai sesuatu dari "kata orang". Camkan itu! Zidney, Zahab, Marzuki. Inilah kisah mereka. Kisah yang bersemi, di tempat yang pernah mereka cap sebagai 'tempat terkutuk'. ©copyright, 2017 addini_sft