"Aku menyia-nyiakan kesempatan saat telah bertemu denganmu yang kutunggu. Bukan berarti aku terlalu naif. Hanya saja, pertemuan kita... terlalu tiba-tiba. Untukku." -ZAHAB
Zidney tersenyum sampai mata. Ralat, lebih tepatnya tertawa. Menjadikan organ yang bisa membuatnya melihat Marzuki di depannya itu, menyipit sempurna. Menjadikan deretan giginya yang tertata apik, kelihatan kilaunya. Seperti di iklan pasta gigi. Menjadikan pipi gempalnya, berbongkah-bongkah di bawah mata.
Beberapa jenak kemudian, ia sadar. Tangannya langsung bergerak sigap untuk menutup mulutnya yang dengan terpaksa harus mengatup. Melihat sekeliling, Zidney menggigit bibirnya kuat-kuat. Bahkan sakitnya tidak berasa, sebab tersamarkan oleh rasa malu yang melanda.
Oh, yang benar saja. Tanpa basa-basi lagi, Zidney langsung menjepit lengan Marzuki dan menggiringnya pergi dari situ. Ke mana saja, yang penting tiada tatapan-tatapan aneh dari segenap pasang mata yang bahkan menghentikan aktivitasnya-baik yang hanya sekadar duduk dengan mengutak-atik smartphone, ngopi, ngemil, ngobrol, oh, bukan itu saja. Sampai-sampai, waitress yang sedang sibuk-sibuknya pun, ikut mengalihkan perhatian. Koki juga, tergopoh-gopoh keluar dari dapur kecilnya dengan spatula di genggaman. Itu semua karena lima kata yang diucapkan secara membabi buta oleh Marzuki. Dan Zidney tidak menyangka, suara Marzuki semenggelegar itu.
Teras kafe. Baiklah, di sini lebih strategis. Tidak mungkin juga jika terlalu jauh. Karena di saat Zidney menarik Marzuki tadi, Mbak Nur datang, membawakan pesanan mereka. Ralat, pesanan Zidney saja, maksudnya. Iya, Zidney lupa telah memesan. Sehingga, ranselnya yang sedari tadi belum sempat ia lepas terpaksa diturunkan ke kursi sebagai tanda bahwa ia akan kembali lagi. Lantas Marzuki? Dari awal, cowok itu telah menggantungkan tasnya di stang motor.
Zidney memuaskan tawanya yang tak jadi, di kursi kayu yang sekarang ia dan Marzuki duduki. Ya, hanya ada satu kursi kayu panjang di teras kafe ini. Dan meja panjang, juga dari kayu. Untunglah tidak ada yang mempermasalahkan tawa Zidney yang meledak-ledak ini, berhubung kafe lagi sepi, jadi semua pelanggan lebih memilih menikmati hidangan di dalam.
Sekitar dua menit, ini terjadi. Zidney tertawa terbahak-bahak, dan Marzuki hanya memerhatikan saja dengan raut datar. Setelahnya, Zidney menghapus air di sudut mata, mengatur napasnya yang riuh-rendah, sebelum akhirnya berdeham, memulai pembicaraan pada Marzuki.
"Duh, sumpah ya, Marzuki Kawasaki, tadi itu lo lagi latihan drama, teater, atau lo lagi bikin video Youtube, tapi kameranya mana?" Zidney menebarkan pandangan ke sekitar. "Maybe, ada kamera tersembunyi kali, ya. Tapi... gue terlanjur malu karna teriakan ekstrim lo itu," ujar Zidney. Ia bangkit dari duduknya, bersedekap, lalu langkah ringannya membawanya bolak-balik di hadapan Marzuki.
Naasnya, ia belum melihat ekspresi Marzuki. Bahkan sejak waktu pertama ia membawa cowok itu ke mari. Ada satu perintah di jiwanya, untuk hanya terus melihat ke depan.
Marzuki berdiri, melontarkan satu pertanyaan ringan, namun sarat makna. "Apa lo bakal malu kalau jadi pacar gue?"
Dari samping, Marzuki bisa melihat Zidney menarik sudut bibirnya ke atas. Pasti ingin tertawa lagi. Buru-buru Marzuki bertindak, karena ia tahu persis, ada keterpaksaan dari tawa itu.
Marzuki beralih, berdiri di depan Zidney. Mencari-cari celah. Sedangkan Zidney, berupaya menghindari kontak mata. "Liat mata gue, Zee. Gue tau gue nggak romantis, tapi gue mohon sama lo." Marzuki menggenggam kedua bahu Zidney. "Gue serius. Gue suka lo."
Zidney sepenuhnya tidak jadi pura-pura tertawa. Ia menggeliatkan tubuhnya, hingga tangan Marzuki terlepas. Sesudah itu, ia berkata tajam, "Jadi lo nraktir gue ke sini cuman buat ngungkapin hal konyol ini? Basi tau, nggak!"
Zidney berjalan cepat ke dalam, menghampiri salah satu sofa yang menampung tas hitam miliknya. Mengaitkan salah satu tali di bahu kanan, lalu melengos pergi. Tak lupa di teras, ia berkata tanpa menatap sang lawan bicara, "Makasih, traktirannya."
Marzuki duduk kembali seraya mengusap wajahnya gusar. Ini semua, sudah ia duga sejak awal. Jadi sekarang, ia tak berdaya. Percuma juga jika harus mengejar Zidney. Toh, masih ada pesanan yang belum dibayar. Dan belum dimakan. Mubazir juga, rasanya. Mengingat itu, Marzuki lantas melangkah ke dalam.
🎀
Laki-laki itu menggeleng tegas. Berusaha menyampaikan perkataan "tidak"-nya tanpa harus bersuara. Dan dia yakin, lawan bicaranya pasti mengerti walaupun seluruh kepala dan wajahnya tertutup helm, dan dia duduk memunggungi orang itu. Mereka berdua ada di atas motor. Yang membelah jalan tanpa tahu arah tujuannya.
"Ke jalan Cempaka ya, Pak."
Pak? Lucu sekali! Ini kesekian kalinya laki-laki itu dipanggil "pak" oleh-nya, setelah sebelumnya adalah pertanyaan "beneran lagi nggak ada yang order 'kan, Pak?"
Setelahnya, Zidney hanya duduk manis di boncengan motor yang membelah jalan ke arah yang kini sudah diketahui, usai melontarkan beberapa kalimat yang hanya ditanggapi dengan isyarat oleh tukang ojek di depannya.
Kurang lebih sepuluh menit, mereka akhirnya sampai di tempat tujuan. Zidney langsung melompat turun. Memindahkan posisi ranselnya ke depan untuk menemukan uang di saku kecil tas itu.
"Nih, Pak, uangnya-eh." Zidney termangu saat mendapati tidak ada siapa-siapa lagi di depannya-hanya ada deru motor yang menjauh. Zidney tersenyum kecil. Baiklah, sepertinya, memang tabungannya kali ini tidak akan berkurang.
Tanpa Zidney ketahui, ada seseorang yang bersembunyi di balik helm dan jaket hitam bermerk BlackyJek itu. Ialah Zahab. Ya, Zahab Putra Permana. Seseorang yang selalu bercokol di pikiran Zidney, namun kehadirannya tak pernah Zidney lihat lagi dalam beberapa bulan ini.
Zahab kini terlihat gusar. Ia meminggirkan motornya. Cowok berkulit bersih dengan lesung pipi di pipi kiri itu melepas helmnya yang entah kenapa, saat benda itu menangkup di kepalanya, ia terasa memberatkan hingga berton-ton.
"Jalan, Pak!"
Suara itu masih terngiang-ngiang di telinga Zahab. Suara berisi perintah yang tidak bisa dibantah. Mengingat sang pemilik suara yang sudah langsung duduk di boncengan motornya dengan ekspresi-sepertinya-dongkol.
Mau tak mau Zahab harus menjalankan motornya, tanpa tahu arah tujuan. Satu lagi, sebagai tukang ojek online, Zahab tidak merasa Zidney telah mengordernya terlebih dahulu. Namun Zahab enggan buka mulut untuk memperbaiki kekeliruan itu.
Karena ia tahu, sepotong suaranya bisa mengubah persepsi Zidney. Bisa-bisa Zidney turun dari motor dan mencurigai keberadaannya yang selama ini sembunyi.
Maka dari itu, hanya gelengan, anggukan, atau dehaman yang bisa ia berikan untuk merespons perkataan cewek itu. Juga, saat Zidney telah sampai rumah dengan selamat, Zahab langsung melesat.
Agar tak tersisa setitik pun celah yang menyelinap.
TBC__
Follow ig: addini_sft
KAMU SEDANG MEMBACA
The One and Only
Teen FictionJangan hanya menilai sesuatu dari "kata orang". Camkan itu! Zidney, Zahab, Marzuki. Inilah kisah mereka. Kisah yang bersemi, di tempat yang pernah mereka cap sebagai 'tempat terkutuk'. ©copyright, 2017 addini_sft