10-Tentang Henel

14 8 0
                                    

"Zidney! Ya Allah, ini beneran lo?" Seorang perempuan baru saja memasuki rumah ini-Zidney tidak tahu rumah siapa, yang jelas Marzuki membawanya ke sini untuk menjemput Sud. Perempuan itu langsung histeris, saat Zidney yang sedang duduk di sofa putih melihat ke arahnya yang berdiri di ambang pintu. Perempuan itu langsung menubruk tubuh Zidney, memeluk. Tenggorokan Zidney tercekat. Perlahan ia menggerakkan tangannya, membalas pelukan perempuan itu. Walau tidak seerat pelukan perempuan itu padanya.

Pelukan itu terlepas. Beberapa menit yang sangat sulit bagi Zidney. Dipeluk oleh Henel-perempuan itu-perempuan yang merenggut cinta pertamanya, menimbulkan dendam tersendiri. Namun Henel seperti tidak merasa apa-apa. Dia menaruh kresek hitam yang sedari tadi tergantung manis di telunjuk rampingnya, ke meja. Lalu, dengan gaya yang menurut Zidney sok akrab, dia mempersilakan Zidney duduk. Juga berbasa-basi pada Zidney dengan menyuruh teman lamanya itu untuk meminum jus jeruk di atas meja, yang tadi diantarkan oleh Bi Maryam, asisten rumah tangga keluarga Henel. Gaya basa-basinya itu, lho, yang membuat Zidney... ingin muntah.

Meski terpaksa, Zidney tetap duduk. Diikuti Henel di sampingnya. Jika dilihat-lihat, Henel masih sama seperti dulu. Masih dengan alis mata tebal, bulu mata lentik yang indah, menaungi mata bulatnya yang kecokelatan, hidung mancung, dan jangan lupakan, tahi lalat yang bertengger di pipi kiri tirusnya yang sebaris dengan bibir tipis kemerahannya, jika bibir itu terkatup. Menurut Zidney, orang yang punya tahi lalat seperti itu, pasti judes. Selalu berbicara panjang-lebar, dan tidak berbobot.

Hanya saja jika dilihat-lihat lagi, ada yang beda dari penampilan Henel. Rambutnya yang dulu sepanjang pinggang, kini dipotong model bob. Zidney yakin sekali, itu pasti untuk mencampakkan rambutnya yang dicat pirang. Peraturan di Totality jelas-jelas melanggar peserta didiknya untuk mewarnai rambut.

Henel beruntung, karena ia hanya mengecat sebagian rambut bagian bawah. Jika saja ia kepikiran memoles seluruh rambutnya, mungkin sekarang setiap orang yang bertemu dengan Henel akan mengira dia adalah pasien kanker yang sedang kemoterapi.

"Zid, tau nggak sih," enggak! "sekolah di Totality itu bener-bener nguras tenaga, pikiran, perasaan, semuanya, pokoknya komplit, deh. Capek banget, tau. Dan sekarang, libur selama seminggu ini, bener-bener harus gue manfaatin buat gemukin badan." Henel menempelkan kedua tangan pada pinggangnya, sedikit menekan, lalu berdecak. "Kerempeng banget nggak, sih?"

Ya, itu. Satu lagi, yang beda dari Henel.

Zidney merasa tersindir. Mengingat pertambahan berat badannya, semenjak bersekolah di SMAN Competitive. Berbanding terbalik dengan Henel. Ya, Henel pasti sengaja menyindir. Secara, mana ada cewek kayak dia. Semua cewek itu ya pengen tubuh langsing, kurang lebih seperti Henel itu.

Menanggapi Henel, Zidney tersenyum kecil, dan ada kata terpaksa yang digarisbawahi. Hatinya berdecih. Setidaknya Zidney harus pura-pura baik, mengingat mereka dulunya adalah partner kelompok belajar yang kompak. Tidak masalah bagi Zidney, saat Henel, si anak baru, mengambil juara umumnya waktu kelas sembilan. Toh, mereka bersaing secara sehat. Namun yang Zidney permasalahkan adalah, Henel yang membuat Zahab berpaling darinya, selama tiga bulan terakhir ini.

Zahab tidak ada kabar.

Apa Zidney tanyakan saja, ya?

"Jadi Marzuki yang ngajakin lo ke sini?" ulang Henel saat Zidney menjawab pertanyaannya, tentang kenapa Zidney bisa sampai di sini.

Zidney mengangguk. Ia tidak banyak bicara.

Henel menumbuk-numbuk pelan paha Zidney, mata almondnya seperti akan mencelat keluar. "Kalian sedeket apa emang?" Telunjuknya mengetuk-ngetuk dagu, dengan kerlingan curiga pada Zidney. "Hm, jangan bilang...."

The One and OnlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang