24

2.1K 316 20
                                    

Gadis itu membanting tubuhnya ke sofa, membiarkan suara penghangat ruangan dan televisi mendominasi suasana di apartement-nya sekarang. Ia mamandang langit-langit lama, entah Sejin harus sedih atau senang setelah kejadian yang menimpanya beberapa menit lalu.

Melihat sahabatnya menangis sesenggukan didepan gemboknya setelah mendapat perlakuan seperti tadi dari Taeyong membuat kepalanya pusing. Tangisan Heeyoung murni dari dalam hatinya, tanpa diberitahupun Sejin sudah tau betul siapa penyebabnya.

Temannya itu tetap membiarkan Doyoung menggenggam hatinya, bahkan dia juga membiarkan lelaki itu meremukkannya. Setelah semua rasa sakit yang diderita Heeyoung, gadis itu bahkan tak sekalipun merasa lelah atau mengeluh. Sejin tau betul bagaimana kisah cinta Heeyoung selama ini dan bagaimana awal mula tumbuhnya perasaan dalam diri gadis manis itu.

Sejin tidak yakin, jika dirinya ada diposisi Heeyoung apa dia bisa sekuat dan setahan Kim Heeyoung. Diacuhkan, disakiti, dipermalukan, diterbangkan dan sedetik kemudian dijatuhkan, temannya menjalani hidupnya sejak SMP seperti itu.

Tapi dia tidak bergeming, rasa cinta yang membutakannya seolah membuatnya tuli dan mati rasa juga. Tidak ia hiraukan semua perlakuan Doyoung padanya, selama ia bisa melihat lelaki itu, maka apapun akan ia lakukan. Termasuk menyakiti dirinya sendiri.

Sejin tau, sejak awal memang Doyoung tidak pernah mencintai temannya itu. Sejak hubungan mereka terjalin saat berada di tahun kedua Sekolah Menengah Atas, orang macam apa yang tega menghancurkan kebahagiaan yang Heeyoung rasakan, saat dengan tiba-tiba Doyoung menyeretnya kebelakang sekolah dan menyatakan perasaannya, perasaan palsu yang dibuat-buat.

Sejin sudah lelah memberitahu Heeyoung bahwa pacarnya itu tak lebih dari kepura-puraan. Tak lebih dari menjadikan Heeyoung sebagai bahan taruhan iseng anak SMA. Tapi gadis itu tak pernah sekalipun mendengarkan ucapan Sejin.

Ya, seharusnya Sejin merasa sedih sekarang. Melihat tangisan itu lagi, diam-diam juga menghancurkan hatinya. Entah apa yang akan dilakukan Heeyoung malam ini, ia sudah menawarkan diri untuk menginap dirumah Heeyoung tadi. Tapi gadis itu bilang dia baik-baik saja dan ibunya juga berada dirumah. Sudah cukuplah untuk sekedar menetralkan kekhawatiran dalam benak Sejin.

Selembar kertas yang sudah berada diatas meja selama seminggu dengan beberapa buku dan segelas teh hangat itu lagi-lagi mencuri perhatiannya. Gadis itu hanya melirik sekilas, teringat bagaimana sang ayah menelponnya ditengah kedepresiannya kala itu. Benar, selembar kertas itu dari ayah Sejin, sebuah undangan agar ia kembali ke kampung halamannya untuk menghadiri acara keluarga tahunan.

Kalau boleh jujur, acara itu sama sekali tidak menarik minat gadis berambut hitam itu. Selain karena ia sama sekali tak mengenal anggota keluarganya, ia juga sering mendapatkan kejadian tak diinginkan setiap acara itu berlangsung. Ada yang memalukan, ada juga yang menyebalkan. Gadis itu sama sekali tidak mengingat siapa nama dan wajah anggota keluarganya, padahal merekalah yang setiap tahun berada disana. Ya, tidak semuanya juga, tapi lebih mendominasi jika dibandingkan wajah dan nama yang diketahuinya.

Adik angkatnya, Park Jisung, juga sependapat dengan dirinya. Walau anak itu mendapatkan teman dan kenalan yang lebih banyak karena seumuran dengannya, tapi Jisung selalu ogah-ogahan jika disuruh berangkat ataupun bersiap-siap untuk acara itu.

Tahun lalu, Sejin tidak menghadiri acara keluarga tahunannya, bukan karena malas atau mengindar. Memang karena ada banyak sekali tugas kuliah yang harus diselesaikannya waktu itu. Meskipun ia sendiri harus mengakui, bahwa itu adalah kesibukkan termenyenangkan dalam hidupnya.

"Datang tidak ya..." gumamnya menimang sesuatu yang ia sendiri sudah mengetahui jawaban dari dalam hatinya, tidak.

Tapi jika gadis itu tidak datang lagi, ayahnya pasti akan datang kesini dan menyeretnya dengan paksa, atau lebih parah lagi. Sejin bergidik memikirkannya, ayahnya tidak pernah benar-benar melakukan itu. Beliau memang jarang marah padanya dan adiknya, tapi sekalinya beliau marah, ah tidak tidak, Sejin tidak mau membayangkannya.

Normal? ▶ LEE TAEYONGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang