Trying to Know You

621 81 46
                                    

“Git, git, mau denger nggak? Nih ya, masa—“

“Sar, udahan ah. Masih pagi nih. Ga butuh sesi Fakta yang Harus Kamu Tahu atau semacamnya. Nyawa gue aja belom lengkap.”

Cewek yang disebut sebagai Sarah hanya nyengir kuda, mengabaikan protes Gita, teman sebangkunya yang muncul dengan rambut belum disisir. Kelas mereka, X-4, masih belum penuh, jika tidak bisa dibilang kosong. Baru ada Sarah, Gita dan sang ketua kelas, Ogi.

Waktu baru menunjukkan pukul 06.10 dan penghuni awal kelas X-4 biasanya memang hanya terdiri dari tiga orang tersebut. Sarah yang tidak suka berangkat siang karena katanya menghindari polusi, Gita yang rumahnya nun jauh di sana, serta Ogi yang berdedikasi sebagai ketua kelas merasa ia harus menjadi contoh khalayak kelas dengan datang paling pertama.

“Nggak sumpah tapi ini tuh penting!” Sarah bersikeras, wajahnya tampak serius.

“Lebih penting dari tugas bahasa Inggris?” balas Gita. Sarah mengangguk antusias. Gita memutar bola matanya. “Ya iyalah, lo udah selesai kan pasti?”

“He-eh. Emang lo belom?”

Wajah Gita berubah memelas minta dikasihani. “Belom nih, tinggal nomor terakhir. Liat boleh gak? Please please pleaaseeee. Kali ini aja. Lo kan tau gue harus berangkat dari rumah pagi-pagi, jadinya kelupaan. Sekali ini doang, beneran. Janji.” Gita menyodorkan kelingkingnya yang disambut dengan tatapan jijik Sarah.

“Hih apasih pake kelingkingan segala?” katanya geli. Sarah memang paling tidak suka contek-mencontek, sehingga karena hal ini dia sering jadi bulan-bulanan anak-anak kelas. Lebih baik dia mengakui tidak bisa sama sekali daripada menggunakan jawaban orang lain. Tapi itu kalau ujian. Kalau tugas biasa, dia lebih fleksibel, walaupun mesti dibujuk-bujuk dulu seperti sekarang. Dan tidak boleh semuanya. Pokoknya banyak deh, syaratnya.

Contohnya saat ini.

“Oke, boleh. Tapi dengerin dulu yang mau gue omongin,” katanya, matanya bersinar antusias. Gita menghela napas pasrah.

“Yaudah, yaudah. Apaan?”

“French artinya apa?”

Gita menatap Sarah bingung. “Ini dalam rangka karena kita abis ini mata pelajaran pertama bahasa Inggris apa gimana?”

“Ih, jawab aja sih.”

“Oke, oke. Prancis kan?”

Menjentikkan jarinya, Sarah mengangguk dramatis. “Bener banget. Nah sekarang, lo tau kan bahasa Inggrisnya kentang goreng?”

“French fries. Kenapa sih emang?” Gita berkata tidak sabar. Sebenernya ini anak mau ngomong apa sih.

Sekarang Sarah memejamkan matanya mendramatisir, merendahkan kepalanya dengan berahasia, kemudian berkata dengan suara rendah nyaris berbisik, “Tapi lo tau gak sih? French fries itu pertama kali dibikin di…Belgia.”

Hening. Hening. Hening. HENING.

Masih syok karena keabsurdan teman sebangkunya ini, Gita akhirnya bersuara, “Terus….kenapa….”

Sarah menatapnya tidak percaya. Tangannya menggebrak meja sebelum berkata menggebu-gebu, “Ya masa lo nggak ngerasa aneh? Dibikin di Belgia, tapi abis itu disebutnya french fries…kayak…misteri banget gak sih?”

“Insya Allah tidak membahayakan kemaslahatan umat kok, Sar. Gausah dipusingin, ok?” Gita berusaha sabar. Jam dinding di belakang kelas menunjukkan pukul 06.17. Sebentar lagi mereka harus turun ke lapangan untuk upacara hari Senin. Tangan kanannya kemudian menengadah, menagih janji Sarah. “Mana, katanya gue boleh liat?”

The Art of CoincidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang