One Step at a Time

385 70 85
                                    

"Ga, lo dipanggil Bu Yeni tuh."

Yoga mengangkat kepalanya dari buku yang sedang dibacanya, menatap Yuda bingung.

"Hah? Kenapa?"

Yuda mengangkat bahu. "Mana gue tau. Buruan gih, kayaknya dia lagi bete." Yuda menarik Yoga yang masih kebingungan untuk bangkit dari tempat duduknya.

"Beneran yang dipanggil gue? Dia nggak ketuker?" tanya Yoga sekali lagi. Masalahnya, bukan sekali dua kali Bu Yeni salah manggil murid. Kepikunannya sudah terkenal sampai ke tukang tahu yang suka mangkal di depan sekolah. Maklum, sudah tua sekali—Yoga sampai tidak ingat dia umur berapa, pokoknya tua—dan anaknya banyak, ada delapan. Laki-laki enam, perempuan dua. Orang tua mana coba yang nggak cepet pikun ngurusin anak sebegitu banyak?

"Lo cek sendiri aja daaaah. Apa perlu gue yang pergi nih nanyain buat mastiin?"

"Gak usah gitu juga Yud, repot amat."

Cengiran mengembang di wajah Yuda. "Nggak kok, kan bisa sekalian buat alesan gue telat masuk kelas."

Yoga mendengus tertawa mendengar jawaban Yuda, kemudian berdiri dan mendorong Yuda yang menghalangi jalannya ke pinggir menggunakan bahunya.

Yuda mengaduh kesakitan. "Bahu lo tuh tajem banget anjir, pantesan jomblo. Bahu kayak gitu mana enak jadi tempat buat bersandar??" kata Yuda setengah berteriak, karena Yoga sudah setengah jalan menuju pintu kelas. Yang disebut belakangan memutar bola matanya mendengar ocehan tidak penting Yuda sebelum menutup pintu kelas.

Ruang guru sekolah mereka berada di lantai dua, sama dengan ruang kelas Yuda. Di sebelah ruang guru, ada ruangan yang lebih kecil lagi, khusus untuk wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, bidang sarana dan prasarana, dan lain-lain. Ruangan itu-lah yang sekarang harus Yoga datangi, karena Bu Yeni adalah wakil kepala sekolah bidang sarana dan prasarana. Semasa jabatannya di OSIS tiada hari tanpa Yoga menyambangi ruangan tersebut. Ada saja hal yang harus diurus, harus ditandatangani, harus dibicarakan, atau dia sekadar dipanggil ke sana untuk diomeli.

Hah. Ngebayangin ruangannya aja Yoga udah pusing.

Walaupun sudah melambat-lambatkan langkahnya, ternyata Yoga tetap sampai di depan ruangan tersebut. Yaiyalah. Dengan memasrahkan diri terhadap nasib malang apa yang akan menimpanya, Yoga membuka pintu dan melangkah masuk. Terlihat Bu Yeni di depan mejanya sedang berkacak pinggang sementara di depannya ada seorang siswi yang walaupun berdiri membelakangi Yoga, Yoga bisa melihat bahunya yang merosot dan kepalanya yang menunduk pasrah.

Waduh. Ada apaan nih?

"Permisi, Bu. Ibu manggil saya?" Yoga menghampiri meja Bu Yeni, melirik ke arah cewek di sampingnya yang mengangkat kepalanya, menoleh ke arah sumber suara.

Mata Yoga melebar, sementara Sarah di sampingnya tidak kalah terkejutnya, menatap Yoga bingung tapi tidak berani mengeluarkan suara. Di tangannya terdapat beberapa lembar kertas yang Yoga kenali sebagai surat peminjaman fasilitas.

"Iya. Coba kamu jelasin ke saya, sejak kapan kop surat OSIS jadi begini? Logo ekskul paduan suara juga setau saya nggak begini?" Bu Yeni merepet dengan nada tinggi, menunjuk-nunjuk beberapa lembar kertas yang dipegang Sarah yang sekarang hanya bisa memandangi kertas tersebut dengan pandangan kosong.

Yoga mengulurkan tangannya, meminta kertas tersebut, yang diberikan Sarah dengan ragu. Yoga tersenyum kecil, menepuk pundak Sarah pelan, menenangkan gadis tersebut yang wajahnya terlihat bingung luar biasa.

Tangan Yoga meluruskan kertas tersebut, membaca kop suratnya sekilas, kemudian berkata perlahan,

"Ibu, kop suratnya masih sama seperti kepengurusan yang sebelumnya, yang berubah hanya nama kepengurusan OSIS saat ini, yang memang ganti setiap tahun, Bu. Terus logo ekskul padus memang baru ganti tahun ini, yang pasti sudah disetujui kabid yang bersangkutan untuk bisa dipakai di kop surat. Kalau ibu mau tanya lebih jauh soal ini, saya bisa panggilin Dewa, kabid IX yang sekarang menjabat." jelasnya panjang lebar.

The Art of CoincidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang