Many, Many Months After

301 50 62
                                    

12 Agustus, hari pertama Orientasi Kehidupan Kampus.

"Cuy, yang pada di tenda medis bisa tolong anterin pita kuning nggak? Ke regis selatan Balairung, barisan FKM—"

"Eh yang di tenda medis siapa? Nanti kalau ada anak Aktuaria namanya Kevin, dia maag belum makan, kasih promag aja dulu baru suruh makan—"

"Kaaakk ambulance udah datengggg—"

"Guys, maba yang di tenda tanyain ya udah sarapan atau belum, tolong disuruh makan bekel aja kalau mereka belum makan—"

"Eh yang screening tolong jangan sampe ke-skip dong ini ada yang sakit tapi nggak pake pita apa pun—"

"Pita langsung kalian pakein aja ya, jangan dikasih ke mabanya, nanti kelupaan terus nggak dipake sama mereka—"

Suara anak-anak divisi medis terdengar susul menyusul dari HT yang tersambung dengan ear-piece yang menyangkut di telinga Yoga, membuatnya ingin mencabut ear-piece tersebut dari telinganya. Tapi boro-boro mencabut ear-piece, menyeka keringatnya saja ia tidak sempat.

Rombongan mahasiswa baru terus berdatangan dari stasiun dan baik ia dan Dito, partnernya, disibukkan dengan screening mahasiswa-mahasiswa baru yang sedang sakit atau memiliki riwayat penyakit sebelum mereka lanjut ke Balairung untuk mengikuti rangkaian kegiatan orientasi.

"Punya riwayat penyakit nggak, Dek?"

"Ada kak, asma."

"Terakhir kambuh?"

"Dua bulan lalu kayaknya?"

"Udah sarapan?"

"Udah, Kak."

Yoga merogoh saku kanannya, mengeluarkan pita hijau dan memakaikannya di lengan kiri maba tersebut. "Nanti kalo capek, cari medis aja, yang pake pita merah." ujar Yoga, menunjuk pita merah yang terikat di lengan atasnya.

"Kalo nggak ada, Kak?"

"Ke anak edukasi dulu juga gapapa, yang pake lakban item, nanti dianterin ke medis," jawab Yoga sabar, terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan ribet maba karena tahun lalu ia juga bergabung di panitia orientasi dalam divisi yang sama.

"Yah, yang galak dong, Kak?"

"Nggak, kok. Lanjut langsung ke Balairung aja Dek, udah mau mulai." Dito memotong tidak sabar, berusaha mempertahankan wibawa anak medis sebagai kakak-yang-baik-dan-pengertian-serta-tidak-suka-membentak, lawannya anak edukasi yang biarpun tahun ini sudah tidak pakai embel-embel 'komdis' tetap saja fungsinya sama.

Maba cowok tersebut langsung berjalan pergi, tidak sempat menyaksikan Dito yang menggerutu pada Yoga, "Banyak nanya amat sih maba?"

Yoga terkekeh, baru saja ia akan menginterogasi maba selanjutnya, HT-nya bergemerisik dan suara Ajeng, staf medis yang jaga di depan fakultas hukum terdengar melalui ear-piece,

"Yang di stasiun boleh bagi pita ijo ke FH nggak? Keabisan nihh, buru plisss, gue sendirian soalnya nggak bisa ninggalin pos, si Eja lagi dampingin orang tua maba disabel nganter anaknya ke Balairung—"

"Bentar, gue ke sana," jawab Yoga, kemudian menepuk Dito sekilas, "Gue ke FH dulu yak, stok pita sama obat lo masih ada, kan?"

"Ada, selo Bang." Dito membalas tanpa melihat Yoga, karena sedang sibuk memakaikan pita kuning pada salah satu maba.

Yoga menuruni undakan dari depan stasiun, kemudian menyusuri jalanan secepat yang ia bisa. Lengannya pegal karena memakaikan ratusan pita ke mahasiswa-mahasiwa baru dan kakinya mulai terasa kebas karena berdiri sekian lama. Belum juga jam delapan pagi, tapi Yoga sudah mencatat dalam benaknya untuk bertanya pada anak konsumsi akan makan apa mereka nanti siang.

The Art of CoincidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang