Buckingham's Corridor

374 64 57
                                    

"Belok, Ly, belok! Awas itu—aaahhh—" Sarah mengeluh, sementara Lya menatap layar ponselnya yang sekarang dihiasi tulisan merah game over besar-besar dengan kesal.

"Lo sih, Sar, berisik banget! Giliran disuruh main nggak mau." Lya menggerutu, tangannya menekan-nekan layar ponselnya untuk keluar dari aplikasi game yang dari tadi ia mainkan dengan ditemani seru-seruan Sarah yang mengganggu. Sarah tidak pernah mau main game dengan alasan dia tidak bisa dan kesal karena kalah melulu. Nyebelinnya, Sarah tetap suka nontonin orang main game dan ngegerecokin mereka sekalian. Jadinya orang lain kan, yang kalah. Jangan-jangan selama ini itu tujuan dia. Dasar cewek licik.

"Nggak ah, gue main gituan nggak nyampe semenit juga kalah. Mendingan jadi penonton aja."

"Lo mah bukan penonton, tapi tukang sabotase."

"Ih jahat banget ngomongnya! Padahal gue selalu berniat baik, menyemangati—"

"Alah, gue tau dibalik yang katanya niat baik lo itu, ada niat licik buat bikin orang yang main kalah karena lo nggak bisa main."

Sarah terlihat sakit hati. "Ly, ini lo mau menyudahi pertemanan dengan gue apa gimana nih?"

"Daripada kalian berantem," tiba-tiba terdengar suara tajam di belakang Sarah. "Mendingan ambilin keyboard sana. Bang Adam udah di jalan."

Niken berdiri dengan tangan terlipat di depan dadanya. Tingginya yang menjulang di atas rata-rata tinggi cewek pada umumnya lengkap dengan dagu lancip dan tulang pipi yang tinggi serta bibir yang tipis membuatnya terlihat seperti karakter ratu jahat di kartun-kartun Disney. Tapi terlepas dari auranya yang mengintimidasi, menurut Sarah, Kak Niken cantik sekali. Tipe cantik yang membuat Sarah ingin mengubur diri dalam-dalam, atau bawa tabung oksigen sendiri supaya tidak menghirup oksigen yang sama dengan Kak Niken. Takut tercemari oleh dirinya yang kalo mau dibandingin, lebih pantes dibandingin sama muntahan kucing.

Lya sudah membuka mulut siap memprotes, tapi Niken sudah melayangkan tatapan mematikannya sehingga Lya menutup mulutnya pasrah. "Ambil dimana, Kak?"

"Biasa, di ruang audio visual."

"Okay."

"Bawanya pelan-pelan, jangan sampe jatoh. Mahal."

"Ya saya juga tau kak itu keyboard, bukan gorengan."

"Jawab aja terus lagi dibilangin."

"Perlu bawa surat nggak, Kak?" Sarah bertanya dalam usahanya menghindarkan Lya dari malapetaka.

"Nggak usah. Kalo ditanyain bilang aja buat latihan padus."

Sarah mengangguk, kemudian tanpa ba-bi-bu lagi menyeret Lya keluar dari ruangan kelas tempat mereka latihan sebelum yang disebut belakangan jadi mangsa macan. Lya sendiri sepertinya tidak menyadari bahwa dia baru saja lolos dari marabahaya.

Sekolah masih lumayan ramai. Baru setengah jam setelah bel pulang berbunyi, dan koridor-koridor sekolah masih dipenuhi orang-orang yang berseliweran kesana kemari. Lapangan juga masih ramai dengan anak-anak yang bermain futsal dan basket. Sarah tidak mengerti bagaimana mereka bisa membagi lapangan untuk bermain futsal dan basket dalam waktu yang bersamaan, emangnya nggak bingung apa? Ngeliatnya aja Sarah udah pusing.

Ketika sedang mengamati bagaimana pembagian lapangan antara dua kubu permainan tersebut, Sarah menangkap sosok yang ia kenali. Disikutnya Lya yang sedang menguap,

"Ly, Kak Yuda tuh."

Mulut Lya yang sedang dalam proses menuju kuapan kedua langsung mengatup kembali. "Mana, mana??!!" serunya antusias.

The Art of CoincidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang