At The Parking Lot

376 62 28
                                    

Kalau ditanya apa pelajaran yang paling ia kuasai, Sarah pasti tidak bisa menjawab. Menurutnya, semua mata pelajaran memiliki porsi kesulitan masing-masing. Tidak ada satu mata pelajaran pun yang benar-benar ia sukai atau kuasai sepenuhnya ataupun yang benar-benar ia benci dan tidak bisa sama sekali.

Selalu ada hell section di setiap mata pelajaran yang membuat Sarah ingin kabur, sementara ada heaven section yang membuatnya merasa senang ketika mengerjakannya. Terkadang, Sarah ingin seperti banyak orang lainnya. Mereka bisa saja bobrok di satu mata pelajaran, tapi cemerlang di pelajaran lainnya.

Sarah tidak benar-benar pintar di satu hal maupun benar-benar bodoh. Dia tidak punya spesialisasi. Hal ini yang membuatnya sering stres sendiri. Karena untuk mencapai hasil yang bagus, ia harus membagikan kadar kerja keras yang sama pada semua hal. Gita mungkin harus memelototi Bu Eka ketika pelajaran Ekonomi, tapi matanya bersinar ketika pelajaran Biologi, gurat pemahaman menjalari wajahnya.

Sarah? Baik kedua-duanya ia harus memerhatikan benar-benar, duduk kaku seperti batu. Kalau tidak dia tidak akan paham.

“Nggak, nggak, Basidio karp itu nama tubuh jamurnya, bukan nama jamurnya. Nama jamurnya Basidiomycota. Lo mah, ketuker-tuker mulu deh.” Gita mengoreksi Sarah untuk entah yang keberapa kalinya.

Mereka sedang belajar untuk ulangan Biologi yang merupakan salah satu dari sekian banyak kelemahan Sarah. Seharusnya mereka mengajukan pertanyaan terhadap satu sama lain bergantian, tapi sedari tadi sesi Sarah belum selesai-selesai. Sarah sibuk salah menjawab pertanyaan, sementara Gita sibuk membenarkan jawaban Sarah.

Sarah mengacak rambutnya untuk yang kesekian kalinya, membuat rambutnya yang sudah berantakan semakin terlihat seperti rambut nenek sihir.

“Kenapa,” tukasnya habis sabar, “Kenapa sih, kenapa, dinamainnya harus mirip begitu? Like, why can’t they be more creative?

Gita tertawa. “Kalo beda banget justru makin susah dong dihafalinnya.”

“Ya tapi kan jadi nggak ketuker-tuker.” Sarah masih menggerutu.
“Nggak ketuker sih, tapi nggak inget sama sekali jadinya.” Balas Gita.

Sarah menyerah. Dibukanya tempat pensilnya, mengambil sebungkus permen yang memang biasanya selalu dia stok untuk keadaan darurat. Hari ini stoknya adalah permen Yupi, permen kesukaannya.

“Dan kenapa,” sambung Sarah, mengabaikan kalimat terakhir Gita, “Kenapa, pelajaran Biologi harus jadi pelajaran kedua dari terakhir? Siang mendekati sore gitu coba, gimana orang nggak ngantuk? Siapa sih ini yang nyusun jadwal, pengen gue jejelin bungkus Yupi ini nih. Ini juga masih kebagusan kali buat jadi jejelan.” Omelnya panjang lebar.

Lagi-lagi Gita tertawa keras. “Apaan sih, ‘jejelan’? Ada-ada aja deh lo.” Katanya menggelengkan kepalanya. Ditutupnya buku catatannya, mengangguk ke arah bungkus Yupi di tangan Sarah. “Bagi dong, Yupi-nya.”

Sarah yang masih berkutat berusaha membuka bungkus Yupi, menghentikan kegiatannya, menatap Gita heran. “Tumben? Bukannya lo nggak suka Yupi?”

“Bukannya nggak suka sih, cuma kalo pilihannya antara permen lain sama Yupi, gue bakal pilih permen lain. Tapi kayaknya hari ini lo bawa Yupi doang…” kata Gita sambil melongok ke dalam tempat pensil Sarah.

Sarah mengangguk, “Iya, cuma bawa Yupi doang—“

“Sar, ini kunci motor?” potong Gita. Tangannya mengacungkan kunci kecil dengan gantungan berbentuk awan yang ditariknya keluar dari tempat pensil Sarah.

Muka Sarah memerah seketika. “Nggak, bukan. Itu kunci rumah,” sangkalnya sia-sia. Gita sudah menyeringai iseng.

“Yaelah, kalo mau boong mending lo les dulu sama gue?”

The Art of CoincidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang