Maybe we met not because of fate, or destiny, or a bigger plan, or other complicated things.
Maybe we met simply because of a series of coincidences, a chain of events in which we make our own reasons along the way.
To know you better. To shake your hand. To take you home. To converse under the metal roof. To ask for a lunch together. To say goodbye.
To love you,
...and to decide that letting you go should never be an option.
***
Minggu pagi yang sepi nan tenang di kos-kosan ini adalah suatu ketidakmungkinan, begitu selalu pikir Yoga. Jumlah penghuni kosan yang terbilang tidak terlalu banyak-hanya delapan orang-tidak membuat kosan ini sepi terutama karena ada manusia-manusia yang tidak pernah kehabisan energi seperti Yuda dan Dira.
"NGAKU DEH, PASTI LO YANG NGAMBIL TOBLERONE GUE. DASAR TUYUL!" Itu Yuda, sedang mencak-mencak pada Dira karena tidak bisa menemukan stok terakhir cokelatnya-yang tinggal dua bar-di kulkas. Yoga yang baru saja keluar dari kamarnya memasuki dapur, melewati mereka berdua sambil pura-pura budek.
"WOY, FITNAH ITU LEBIH KEJAM DARI PEMBUNUHAN!" Dira balas berteriak tidak kalah kerasnya. Yoga sampai berjengit, suami istri yang sedang berantem mungkin kalah heboh dengan pertengkaran Yuda dan Dira kali ini.
"Lo salah naro kali, Yud." Yoga akhirnya nimbrung. Sebelum terjadi pertumpahan darah, harus ada yang melakukan sesuatu.
Yuda menatap Yoga dengan tampang merana. "Nggak mungkin, Ga. Gue nggak mungkin salah taro hal-hal penting gitu."
Mengangkat bahu, Yoga mengaduk susu hangatnya. "Mungkin dimakan Seno. Minta ganti aja sana."
"Nggak. Seno yang suci kayak biksu itu nggak mungkin makan yang bukan haknya."
Bisa-bisanya Seno dibilang kayak biksu. Padahal Seno tidak ada botak-botaknya atau kecenderungan botak walaupun rambutnya memang tidak tebal-tebal amat. Yoga menggelengkan kepalanya lagi, kalau diibaratkan pintu mungkin sekarang engselnya sudah aus saking seringnya Yoga menggelengkan kepala.
"Ya udah, beli lagi aja sana." usul Yoga.
Dira mengangguk antusias. "Tuh, dengerin. Mending lu beli lagi aja dah. Daripada nuduh yang nggak-nggak ke orang inosen kayak gua. Perkara ini bisa gua bawa ke meja hijau, tau?"
Yoga melebarkan matanya. Dua orang ini memang sama-sama sinting. Bawa-bawa meja hijau segala.
"Gue buang." Seno muncul di pintu dapur, masih mengalungi handuk di lehernya, rambutnya masih setengah basah.
Yuda menoleh perlahan ke arah Seno, perlahan-lahan, seperti scene film yang di-slow-motion. "Apa, Sen?"
"Gue buang. Toblerone lo." ulang Seno, dengan nada tenang yang sama, meraih gelasnya di rak.
Yoga bersandar ke tempat bilas cucian piring, berperan sebagai penonton yang baik. Dira sudah memelototi Yuda dengan tatapan kan gua bilang apa bukan salah gua.
Sementara Yuda, rahangnya mengeras dan tinjunya terkepal, raut wajahnya penuh dendam kesumat.
"Ternyata gue selama ini salah sangka. Gue kira lo orang yang punya rasa kemanusiaan yang tinggi, Sen. Tapi ternyata-" Yuda menarik napas, "LO TUH NGGAK PUNYA HATI. KEJAM. NGGAK BERPERASAAN. NGGAK-"
"Toblerone lo itu digondol tikus."
"-hah?"
"Di. Gondol. Tikus."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Art of Coincidence
Fiksi Penggemar"The world is so unpredictable. We are ruled by the forces chance and coincidence." - Paul Auster. Call it luck. Call it chance. Call it karma, call it fortunate. Here we are, coinciding coincidences.