"YOGAAAA! NGAPAIN AJA SIH? TURUN KEK, TEMENIN MBAK MAKAN." Suara Wanda yang melengking bergaung ke seluruh penjuru rumah. Yoga, oknum yang diteriaki, masih berada di kamarnya—di depan cermin lebih tepatnya—sedang memakai kemeja kotak-kotak khasnya di atas kaus putih polos ketika ia balas berteriak,
"IYA, SABAR."
Hari ini hari Selasa, minggu kedua liburan semester. Yoga berencana pergi ke toko buku demi mencari buku referensi tambahan untuk bahan persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Ibunya sudah pergi ke TK untuk mengajar dan ayahnya juga sudah berangkat ke kantor.
Tinggal-lah Yoga dan Wanda yang sekarang sedang merepet tidak mau makan sendirian, padahal biasanya orang-orang yang dia usir-usir.
Yoga menuruni tangga sambil mengenakan tasnya yang disampirkan menyilang dari bahu kiri ke pinggang bagian kanan, disambut Wanda yang sedang mengunyah roti,
"Lama banget. Hampir aja jatah kamu aku habisin."
Yoga mengangkat alis. "Emang sanggup?"
Menatap tumpukan roti di atas meja, Wanda mengangkat bahu. "Nggak, sih."
Yoga berdecak geli, mengambil sehelai roti tawar, melipatnya dan mulai menggigitnya tanpa menambahkan apa-apa. Diliriknya televisi yang menyala, lagi-lagi mengangkat alis melihat apa yang sedang ditonton kakaknya.
"Kesambet apaan Mbak nonton ftv?"
Wanda yang sedang sibuk berkutat dengan amplop cokelatnya, mendongak. "Hah?"
"Itu," Yoga menyipitkan matanya, berusaha membaca judul ftv yang tertera di pojok kiri atas, "'Cintaku....tertampar..?'"
Wanda langsung ngakak. "HAHAHAHAHAHA. APA DEH. SIAPA YANG TERTAMPAR."
"Nggak tau ah, nggak keliatan," Yoga menyerah dalam usahanya membaca judul ftv yang panjang itu.
"Oh, jadi dari tadi yang ditayangin ftv toh. Pantes dialognya aneh-aneh," Wanda menyahut, masih tertawa-tawa.
Yoga memisahkan pinggiran roti yang dimakannya di piring terpisah. Dia tidak suka pinggiran roti. Menurutnya, pinggiran roti rasanya pahit. Biasanya pinggiran roti tersebut akan disulap ibunya jadi masakan lebih enak yang bisa dia makan.
"Lah, kamu dari tadi nggak nonton?"
"Nggak, tapi aku dengerin."
Selesai memisahkan pinggiran roti, Yoga melahap sisa roti di tangannya. "Tumben. Biasanya kamu matiin."
Wanda mengangkat bahu lagi, merapikan tumpukan amplop cokelat di samping piringnya dimana setangkup roti masih tergeletak, baru setengah dimakan. Kakaknya selalu lama kalau mengunyah, yang dijustifikasinya dengan "Rahangku kecil, jadi ngunyahnya lama."
Yoga belum sempat menemukan bukti apakah benar rahang kecil berkorelasi dengan lama waktu mengunyah, atau hal itu hanya akal-akalan kakaknya saja seperti biasa.
Karena harus menghabiskan waktu yang lama untuk mengunyah, Wanda selalu makan sambil mengerjakan sesuatu, katanya biar waktunya tidak terbuang. Padahal, bisa jadi itu yang menyebabkan dia makannya lama, karena selalu sambil mengerjakan sesuatu.
Tiba-tiba Yoga teringat dengan orang lain yang makannya juga lama. Katanya. Karena Yoga belum sempat duduk berdua dan makan bersama untuk membuktikan perkataannya, walaupun Yoga ingin.
Pikiran ini membuat Yoga merasa seperti ada sesuatu di dalam dadanya yang menahan oksigen untuk masuk ke paru-parunya.
Udah lama, ya. Batin Yoga.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Art of Coincidence
Fanfiction"The world is so unpredictable. We are ruled by the forces chance and coincidence." - Paul Auster. Call it luck. Call it chance. Call it karma, call it fortunate. Here we are, coinciding coincidences.