Sebatang pensil melayang dari ujung meja panjang di ruang tamu rumah Yoga dan mendarat tepat di jidat Yuda sebelum jatuh ke lantai. Korban pelemparan pensil tersebut mengangkat wajahnya dari rubik yang sedang dimainkannya sejak setengah jam lalu, berseru tidak terima,
"Apa sih?!"
"Lo," Galih, oknum pelempar, menunjuk Yuda dengan penuh kecaman, "berhenti nilepin biskuit saltcheese gue."
"Itu kan disediain buat kita semua." Yuda memberi penekanan pada dua kata terakhir, tapi akhirnya menggeser stoples berisi biskuit kesukaan Galih dan beralih pada stoples berisi kacang mede. Galih langsung menarik stoples berisi biskuit kesukaannya mendekat, memeluknya kencang, sampai mungkin kalau stoples itu hidup dan punya gigi, dia bakal menggigit Galih karena kehabisan napas.
Kemal, yang duduk di seberang Yuda, terkekeh pelan sambil menggeleng dengan ekspresi menggurui. "Ada ya, orang posesif sama biskuit."
"Daripada lo, sama gel rambut." Seno menyahut dari ujung meja lainnya, tanpa mengangkat wajahnya dari buku tebal latihan soal yang sudah ia tekuri dari entah kapan di halaman yang sama. Tak terhitung sudah berapa kali Seno mengacak rambutnya pertanda frustrasi, tapi bahkan gunung api yang meletus tidak akan membuat wajah Seno terlihat lebih ekspresif.
Termasuk ketika dia mengatakan kalimat terakhirnya barusan dengan maksud mengolok-olok Kemal. Tapi dengan wajah begitu, siapa yang bakal tersinggung?
Apalagi kalau sasarannya Kemal, manusia berkulit badak.
"Gue nggak make kok hari ini."
Kan.
Yoga yang duduk di samping Kemal, hanya mendengus tertawa. Hari itu teman-temannya sedang berkumpul di rumahnya dengan maksud belajar bersama—padahal seperti excuse "belajar bersama" pada umumnya, belajar bersama mereka tentu saja diiringi hal-hal lain—bonus Seno yang nimbrung simply because he can.
Seno sudah lama mengenal teman-teman Yoga karena mereka kepalang sering mengunjungi rumah Yoga, yang merupakan tempat yang juga sering Seno datangi. Baik Seno maupun teman-teman Yoga memiliki alasan yang sama kenapa rumah Yoga selalu jadi tempat favorit: banyak makanan. Gratis, pula.
Ibu Yoga adalah guru TK merangkap ibu rumah tangga yang salah satu sumber kebahagiaan terbesarnya adalah melihat rumahnya penuh orang-orang—terutama anak-anak—dan menganggap mereka terlalu kurus untuk bisa dibilang manusia dan tidak sabar untuk menggemukkan mereka semua. Ayah Yoga tidak bosan-bosannya bilang—sambil matanya bersinar jenaka—kalau dia dulu tampan luar biasa, badannya tegap dan berotot seperti tentara, tapi setelah menikah, "Ya, jadi begini deh."
Biasanya ibunya akan pura-pura ngambek dengan mengambil piring atau makanan apapun yang ada di hadapan ayahnya diiringi dengan, "Yaudah, Ayah nggak usah makan lagi, makanannya Bunda kasih kucing aja."
Ibunya, yang Yoga panggil dengan sebutan Bunda, ketika teman-temannya datang kerumah, bisa menghabiskan sepuluh menit sendiri merepet mengenai Yoga dan kakaknya yang tidak gemuk-gemuk sambil mengeluarkan seluruh stok makanan. Yuda pernah bilang bahwa ibu Yoga adalah sosok ibu ideal yang ada di cerita-cerita pendek di buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia anak SD.
"Atau jangan-jangan nyokap lo itu penyihir yang di Hansel and Gretel, Ga." Itu Kemal, yang kalau ngomong memang jarang di-filter.
"Mulut lo kayaknya mesti didaftarin ke lembaga sensor Indonesia, deh, Mal. Nggak apa-apa Ga, racunin aja kunyuk satu ini." Ujar Yuda kejam.
Sementara itu, kakak perempuan Yoga, Wanda, adalah potret sempurna wanita modern masa kini. Lulusan HI dengan predikat cum laude, fasih empat bahasa, aktif kegiatan kampus dan luar kampus sampai Yoga lost count, namanya ada di mana-mana termasuk di banner depan stasiun kereta dekat kampusnya, dan ditarik oleh pemerintah bahkan sebelum dia lulus. Serba bisa, super pintar, excellent time management, berkarisma, mandiri, cantik pula, dan kalau kata Yuda, "bikin cowok-cowok jiper" sementara Kemal, being as non-sense as he usually is, "bukan manusia deh kayaknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Art of Coincidence
Fanfic"The world is so unpredictable. We are ruled by the forces chance and coincidence." - Paul Auster. Call it luck. Call it chance. Call it karma, call it fortunate. Here we are, coinciding coincidences.