"The world is so unpredictable. We are ruled by the forces chance and coincidence." - Paul Auster.
Call it luck. Call it chance. Call it karma, call it fortunate. Here we are, coinciding coincidences.
Derik kerikil di sepanjang jalan yang baru diaspal setengahnya mengiringi langkah kaki Yoga. Yoga menaikkan volume suara musik dari earphone-nya, memblokir suara pedagang pinggir jalan dan suara mesin entah apa di seberang jalan yang meraung-raung.
Bukannya mengurangi polusi suara yang menyiksa telinga, Yoga malah menambahkan derita gendang telinganya. Menurutnya, lebih baik mendengar suara Pierre Bouvier berteriak-teriak di telinganya daripada mendengar semua kebisingan ini. Biasanya, Yuda yang menegurnya.
“Heh, turunin itu volume. Ntar kuping lo berdarah, baru tau rasa, deh. Dari Monas masih kedengeran tuh musik.”
Kalau dilihat sekilas mereka berdua, kelihatannya Yoga lebih teratur daripada Yuda. Lebih lurus. Padahal, dalam beberapa hal, Yuda is more organized than him. Kalau mereka pergi bersama, entah itu sekadar jalan-jalan atau hal yang lebih penting lainnya, yang paling lengkap bawaannya adalah Yuda. Tisu—tisu kering dan tisu basah—hand sanitizier, air mineral, permen, masker, sampai obat masuk angina, pokoknya isi tasnya sebelas dua belas dengan kantong Doraemon. Yuda juga menolak minum kopi dan walaupun terkadang suka nongkrong di warung Pakde—tongkrongan anak sekolah mereka—tidak pernah sebatang pun rokok dia sentuh.
“Gue ngerti orang-orang yang ngerokok buat pelarian dan gue nggak nge-judge mereka,” katanya suatu hari, “tapi kalo gue pribadi nggak butuh yang gitu-gitu buat bikin hidup gue tambah berantakan.”
Mengabaikan suara protes Yuda di kepalanya, Yoga menekan tombol volume. Bukannya mendengar volume musik yang mengeras di telinganya, Yoga malah merasakan handphone di kantongnya yang memutar playlist yang khusus ia buat untuk perjalanan sehari-harinya—pulang pergi dari dan ke sekolah, atau pulang pergi dari dan ke tempat les, seperti sekarang—bergetar sebelum akhirnya mati. Low battery.
Yoga mengutuk dirinya sendiri yang lupa mengisi baterai handphone-nya sebelum pergi. Dilepasnya earphone-nya dari telinganya dengan tidak sabar, menjejalkannya ke kantongnya, dan hampir saja jantungnya copot ketika tepukan tidak manusiawi menghantam punggungnya.
“WEI! Hehe, ketemu kita. Bareng, dong.” Cengiran polos mengembang di wajah si pemilik suara, tidak menyadari bahwa punggung orang yang baru saja dipukulnya sekarang berdenyut nyeri.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kalau bukan karena Seno adalah temannya dari kecil, dari semenjak mereka berdua belum bisa bicara, dari semenjak mereka masih sama-sama menggunakan sepeda roda empat, sampai sekarang ketika tinggi Yoga sudah melebihi tinggi Seno, mungkin sekarang orang di sampingnya ini sudah ia jejali kerikil yang dari tadi menusuk menembus telapak sepatunya yang mulai tipis.
Yoga menatap Seno sebal, tapi mengabaikan denyutan di punggungnya, karena ya ampun, ia sudah terbiasa. Walaupun mereka berdua sama-sama memiliki tampang kalem, tapi karena sudah terbiasa dengan satu sama lain sejak kecil, bercandaan mereka terbilang ekstrim.
Bekas luka di pelipis kanan Seno adalah hasil karya Yoga ketika ia melempar rubik ke arah Seno karena Seno mengambil jatah mangganya. Baik Yoga dan Seno tidak akan pernah lupa bagaimana Yoga meminta maaf dan menangis tidak berhenti-berhenti setelah melihat darah mengalir dari luka yang diakibatkannya, ketakutan bukan buatan mengira Seno akan mati.